Baidhawi, Loper Koran yang Menghadiahkan Orang Tuanya Gelar Sarjana

SIAPA yang menyangka jika lelaki yang selalu berpakaian lusuh dan memakai sandal jepit yang sudah tergerus tanah ini akhirnya lulus sebagai sarjana. September 2012 lalu ia baru saja diwisuda, sebelumnya ia kuliah di Jurusan Kesejahteraan Sosial, IAIN Ar Raniry Banda Aceh.

Lelaki itu adalah Baidhawi, perantau dari Padang Tiji, Kabupaten Pidie, yang berhasil menjadi sarjana dari usahanya menjadi loper koran. Berasal dari keluarga sederhana, orang tua Baidhawi adalah seorang petani dan pedagang sayur. Dengan kondisi itu ia sadar tak mudah baginya untuk mewujudkan impian menjadi seorang sarjana. Namun, ia telah bertekad bahwa dirinya harus meraih gelar tersebut, meski untuk itu ia harus merasakan pil pahit tantangan hidupnya.

Sejak 2005 silam, ia mulai meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasi ke Ibu Kota Provinsi. Banda Aceh memang jadi pilihannya. Sejak itu satu demi satu kisah hidupnya dimulai. Awal-awal hidup di Banda Aceh, ia mencari peruntungan dengan bekerja di warung kopi. Menyadari uang yang didapat di sana tak cukup untuk membiayai keinginannya untuk kuliah, ia pun banting stir. Baidhawi kemudian menjadi loper koran.

“Awalnya saya melihat teman saya yang juga loper koran. Sepertinya pekerjaan ini lebih mudah karena hanya bekerja seeparuh waktu, sisa waktu lainnya bisa dipakai untuk kuliah,” ujar Baidhawi, ketika di jumpai The Atjeh Post, 11 Oktober 2012 di Warung Kopi Berlian, Jalan Cut Ali, di belakang Mesjid Raya Baiturrahman.

Meskipun uang yang didapatnya tidak seberapa, ia tak berkecil hati. Sebab yang ia harapkan adalah biaya dan waktu luang untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Itulah alasannya kenapa tetap bertahan menjadi seorang loper koran.

Setelah menjadi loper koran, ia terbiasa bangun pagi sebelum azan subuh berkumandang. Setelah itu ia pergi untuk mengambil koran terbitan lokal ke kantor media tersebut. Ia pun melaju di bekunya udara pagi dengan sepeda gunungnya. Lantas mengantarkannya ke beberapa pelanggannya.

Ia tak peduli meski setiap hari harus menempuh jarak hingga berkilo-kilo meter. Ia juga tak ambil pusing ketika panasnya matahari membuat kulitnya terbakar dan menjadi hitam. “Ini memang udah jalan hidup. Jalani saja, lagi pula kondisi orang tua juga tidak mendukung untuk mengirim uang kuliah, ” ujar lelaki kelahiran Sigli, 1 Mei 1980 ini.

Seluruh biaya pendidikannya ditanggung sendiri. Ia pun tak pernah meminta dari orang tuanya. Kadang-kadang ia mendapatkan beasiswa karena memiliki prestasi yang bagus di kampus. Meski tak terlalu besar beasiswa itu sangat membantunya.

“Mengenai biaya kuliah dari hasil penjualan koran, kira-kira sekitar 1,2 juta per bulannya. Terkadang ada beberapa kali dapat beasiswa di kampus,” lanjut pemuda yang bercita-cita sebagai menteri negara.

Semangat dan perjuangan hidup Baidhawi memang patut dicontoh. Dengan segala keterbatasannya, Sulung dari empat bersaudara ini mampu menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Ia berhasil lulus dalam kurun waktu empat tahun. Ia pun menghadiahkan gelar tersebut kepada kedua orang tuanya.

“Mereka sangat terkejut saat saya mengabarkan mereka harus hadir ke acara wisuda saya bulan September lalu,” kata Baidhawi.

Kini setelah mengantongi ijazah sarjana, Baidhawi masih tetap berjualan koran. Ia pun bermaksud untuk mengikuti kursus untuk menambah pengetahuannya. Terutama di bidang teknologi.

“Dalam penguasaan komputer saya kurang, mungkin karena tidak terbiasa memegangnya. Jadi kini saya mengumpulkan uang untuk mengikuti kursus,” ujar lelaki yang tinggal di sebuah kios di sekitar Pasar Aceh ini.

Baidhawi pun menyesalkan beberapa teman-temannya yang berasal dari keluarga mampu namun menyia-nyiakan waktu kuliahnya.

“Biarkan saja tak memiliki harta, yang penting kita tetap memiliki ilmu,” katanya.[]

sumber: atjehpost.com
Tags