CERPEN | Luka Sebatas Senja

Annisa Phalupi
Karya: Annisa Phaluphi
Mahasiswi FKIP Unsyiah
Sore ini, pukul 5 sore hari. Banda Aceh tak membara seperti biasa. Aku berbaring di atas tempat tidur. Sambil mendekap sebuah guling, aku mengetik pada keypad untuk sekedar mencurahkan sedikit kegalauanku. Senyap, jarang-jarang penghuni kos ku membisu layaknya hari ini. Tak ada hiruk pikuk yang terjadi –entah kenapa. Aku mensyukuri. Membuatku bersemangat untuk melanjutkan tulisanku sore ini.


Ku awali dengan kehadiran tahun yang katanya akan terjadi banyak kericuhan setiap sudut kota. Namun bagiku keadaan di tahun ini tak akan serumit itu, (mungkin) jika kita masih bersama.

Tahun ini kegembiraan dan kesedihan terjadi karenamu. Ingin ku anggap ini adalah sebuah mimpi panjang tapi pipiku selalu saja sakit saat ku cubiti, terlebih hatiku.
Apalagi ketika aku harus segera tersadar. Kamu hanyalah milik senja. Entah senja yang di ufuk mana. Keindahanmu selalu abadi. Meski merah langit sendu menghampiri. Ku paksakan logika memahami. Bahwa Malaikat tak akan selamanya berada di bumi(ku).

Sejenak aku merenung, belakangan aku merasa galau. Cinta, sebuah rasa untuk kamu yang mungkin masih di hati. Entah kenapa kamu begitu menguasai pikiranku. Padahal tak seharusnya aku seperti ini.
Aku masih saja merindukan sosok kamu pada senja di taman lampu itu. Masih terngiang, nada pertama yang kamu keluarkan ketika kamu menemukanku di taman itu, sendiri diantara sekian yang saling berbagi.

Rona amarahmu terekam jelas dalam raut wajah kusut dipenuhi peluh yang mengucur deras ke seluruh penjuru lekuk tubuhmu. Ku kira kamu terbawa emosi, Namun aku salah.
Tawamu menyeruak mengalun bagaikan nada bersama memori, membawa kenangan.
Fikirku, inilah yang dinamakan harapan tak selalu sesuai dengan kenyataan. Sama halnya dengan yang kita alami saat ini.

Hatiku selalu saja bergelut dengan pikiranku, seakan mereka tak sejalan. Meski pikiranku berusaha keras melupakanmu, hatiku selalu menolak dan tak akan pernah bisa melakukannya. Kamu terlalu manis. Semanis perjalanan yang kita lalui. Semanis kepiluan dalam hati.

Lalu kamu memintaku untuk merelakan kisah kita ? Aku tak mampu berkata-kata. Kabut segera menyergap, bersiap membasahi mata dan kedua sisi pipiku. Aku tak mampu menahanmu, sehingga mau tak mau ku harus relakanmu. Aku melakukannya hanya karna itu adalah inginmu. Keputusan ini sepihak. Aku tak meng-iyakan. Kamu pergi meninggalkanku sendiri, dalam bayang dan angan tentangmu.

Tapi kamu bawa hatiku menetap nyaman disana. Mungkin itulah sebabnya aku masih ingin mencintaimu. Bukan sesuatu yang lain, aku hanya ingin bersamamu.
Mungkinkah aku akan bertemu sosok sempurna sepertimu. Sosok yang mendewasakan aku. Membuat ku nyaman. Membuatku merasa teramat istimewa. Hingga suatu ketika aku tersadar. Kita tak lagi bersama.

Maaf jika aku keras kepala, Sudah ku coba berlari jauh menghindar dari bayangmu, Selelah bagaimana ternyata aku menyadari, Aku hanya berlari berputar mengelilingimu.
Lalu menurutmu, apa yang mungkin terjadi? Setelah sekeras aku mencoba melupakanmu, Sejauh ini aku tak mampu. Aku tak akan melakukan apapun, selain mencintaimu dan terus mencintaimu.

Pernahkah kamu merasa merindu hingga menangis namun pikiranmu menolak untuk bersedu ? Seperti aku yang kini merindu namun ragu kepada siapa rasa ini hendak ku tuju. Aku rindu di rindukan, seperti dahulu. Namun kini kelabu.

Aku masih ingat ketika aku selalu menangis disetiap doaku tentang kamu sesaat setelah kita bertemu. Aku takut kamu tidak merasakan betapa aku menyayangimu. Aku takut mencintaimu dengan cara yang salah. Aku terlanjur larut dalam perasaanku. Aku yang terlalu takut kamu tak beda dengan orang-orang di masa laluku. Yang katanya cinta namun hilang entah kemana. Seperti mau tak mau mencintaiku.

Tapi denganmu, matamu, suaramu, aku merasa cinta. Hingga akhirnya kamu juga pergi meninggalkanku.

Tuhan, aku ingin dia. Oh, bukan. Aku ingin cintanya, sikapnya. Aku mencintainya tanpa alasan dan tak memiliki alasan pula untuk meninggalkannya. Walaupun aku telah ditinggalkannya terlebih dahulu. Ya, Cinta membutakanku. Tuhan, aku tak ingin memintanya kembali, karena akhirnya memang ini takdir yang harus ku lalui. Tapi aku berharap aku akan menemukannya dan akan ku lengkapi hatinya dan sebaliknya hingga senja nanti.

Sebelum aku menyelesaikan tulisanku, aku ingin mengecup keningnya lewat tulisan ini. Seperti saat terakhir kamu kecup keningku. Sebelum ku tau itu adalah untuk terakhir kalinya. Pejamkan matamu sebentar saja, Karna aku akan tiba disana dan memelukmu erat. Terimakasih telah memberikanku kebahagiaan, lukaku adalah bekas kebahagiaan yang tak terkira.

Terimakasih Tuhan, untuk semua alur hidupku yang sangat indah.

Untukmu lelakiku, aku akan terus menghitung setiap detik yang berkurang, sampai (mungkin) Tuhan ingin mempertemukan kita kembali.


Tags