Makna Qurban di Balik Bencana Kemanusiaan

oleh: Launa, SIP, MM

Perayaan Idul Adha 1433 Hijriyah tahun ini, dirayakan di tengah situasi keprihatinan umat. Betapa tidak! Beragam bencana kemanusiaan datang silih berganti: konflik institusional (KPK vs Polri), konflik vertikal (penguasa-pengusaha vs petani/ buruh/ pedagang/ LSM/ mahasiswa), konflik horizontal (tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, antarwarga, dan benturan antaragama), hingga deraan korupsi, kejahatan korporasi, kezaliman aparat negara yang terus berlangsung dan tak kunjung reda.
Bencana kemanusiaan yang datang bertubi itu telah membuat sebagian saudara kita harus kehilangan nyawa, kehormatan, harga diri, sumber penghidupan, hingga trauma psikologis yang parah. Dalam konteks itu, peringatan Idul Kurban menjadi bermakna. Ia menjadi semacam penanda, ekspresi "teguran langit", yang resonasinya terpancar dalam bentuk rentetan bencana sosial dan murka alam kepada kita sebagai bangsa.

Lalu, makna apa yang bisa kita petik dari perayaan Kurban tahun ini terkait rentetan bencana sosial di bumi Indonesia tercinta?

Setidaknya terdapat dua perspektif nalar teologis untuk memaknai musibah ini. Pertama, perpektif teologi jabariah. Cara pandang ini meyakini bahwa Tuhan tengah murka pada penduduk negeri ini yang pandai membuat dosa dan memelihara beragam kebatilan. Nalar teologis ini sungguh berbahaya jika dibiarkan merasuki bawah sadar masyarakat. Meminjam tesis Gottfried Leibniz (2003), Tuhan seakan menjadi terdakwa tunggal karena telah mendatangkan murka alam dan bencana di bumi.

Kedua, pandangan teologi qodariah. Nalar teologi ini lebih menekankan bahwa beragam bentuk bencana sosial dan murka alam pada ghalibnya adalah akibat ulah manusia itu sendiri. Teologi ini memandang kehendak bebas manusia (qadariah) adalah penjelasan yang paling logis, rasional, adil, dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia terkait alam dan lingkungannya dan relevansinya dengan kehadiran bencana.

Teologi qodariah juga ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya (free will), dan karenanya manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatnya. Teologi qadariah juga logis dan rasional karena nalar ini dapat menghindari manusia dari mitos-mitos sosio-kultural yang potensial membawa umat pada kesesatan dan kegelapan alam pikir dalam melihat dan memaknai bencana.

Kurban (atau qurbah dalam bahasa Arab) bermakna ajakan kepada kita untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pemilik sekalian alam. Ditinjau dari sudut ruhaniyah, ia bermakna keteguhan iman (wujud kepasrahan Nabi Ibrahim AS kepada Sang Pencipta). Sementara dalam konteks nalar sosial, ia bermakna pemuliaan atas perjuangan Ibrahim AS dalam menegakkan teks kemanusiaan dan peneguhan nilai-nilai keadilan (sosial).

Ritual Kurban mengajak kita menangkap pesan transenden agama, yakni keikhlasan atas apa yang telah digariskan sekaligus bersimpati dan berempati pada mereka yang miskin, papa, dan terpinggirkan. Inilah visi Kurban dan misi utama Islam sebagai ajaran yang memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil’ alamin).

Drama Kurban adalah sebuah penegasan historik perjalanan kebajikan manusia, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang telah ditorehkan Ibrahim AS. Ia adalah refleksi sekaligus reflikasi keteladanan Ibrahim AS yang sukses mentransformasi pesan ruhaniyah Kurban sebagai amalan spiritual sekaligus kerja kemanusiaan yang membumi dalam ruang besar kehidupan umat.

Sebagai sebuah "lompatan keimanan", Kurban bertujuan menautkan pesan spiritual agama (hablu’minallah) yang meraga dalam nilai-nilai kemanusiaan (hablu’minanas). Dengan spirit keesaan Tuhan dan kemanusiaan yang utuh, Ibrahim AS berhasil menjahit kain kemanusiaan yang terkoyak guna meretas peradaban manusia yang beralas kasih, bersendi persaudaraan, dan bernafas kemaslahatan.

Ketika Ibrahim memilih lompatan keimanan, rasul peletak dasar agama samawi dan penghulu para nabi itu, menjalani seluruh tugas kenabiannya dengan sabar dan tawakal (istiqomah); di tengah beban perjuangannya yang berat melawan penindasan raja Namrud. Ketika Allah menguji keimanan Ibrahim AS (agar menyembelih Nabi Ismail AS, putera yang amat dikasihinya), ia dengan ikhlas melakukannya.

Inilah jihad akbar yang ditorehkan Ibrahim, jihad melawan egoisme diri. Ketika egoisme sudah merasuki jiwa manusia, maka saat itulah manusia melupakan Tuhannya dan kerap menistakan sesamanya. Sikap egois dan tamak yang acap muncul dalam perilaku manusia terbukti telah melahirkan panggung kehidupan yang penuh konflik dan perpecahan.

Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kelimpahan rizki, maka Anda wajib berbagi dengan orang lain. Bila Anda berpuasa, maka Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah Kurban dan puasa mengajak mereka yang mustada’afiin untuk merasakan senang dan kenyang seperti Anda.

Ali Syari’ati menyebut ritual Kurban tak sekedar pesan ruhaniyah agama agar manusia mendekatkan diri pada Tuhannya, namun juga kepada sesamanya. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat, ibadah Kurban dengan tegas mencerminkan komitmen humanisme Islam: mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang serba kekurangan.

Atas dasar spirit teosentrik itu, ritual Kurban mengandung pesan spiritual sekaligus sosial. Pertama, makna ketaqwaan manusia atas perintah Sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada Sang Pencipta.

Kedua, makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat intrisik manusia yang berwatak homo homini lupus: tamak, serakah, rakus, ambisius, jumawa, suka menindas, gemar melanggar hukum dan menabrak norma-norma sosial.

Ketiga, makna sosial, dimana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki namun kikir dalam menunaikan perintah Kurban.

Keempat, makna solidaritas universal, yang tak lagi memberi ruang pada sikap dan perilaku hidup diskriminatif. Di dalam nilai solidaritas universal itu, terkandung komitmen pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan manusia lainnya atas nama apapun.

Kelima, makna bahwa Idul Kurban juga harus diletakkan dalam dimensi antroposentris, yakni kewajiban umat manusia untuk membumikan sikap adil, toleran, dan saling mengasihi antar sesamanya sebagai pesan profetik agama; sekaligus jalan (shirath) menuju kesalehan sosial dan kesempurnaan iman.

Keenam, makna bahwa kemanusiaan, toleransi, dan keadilan (termasuk sikap adil terhadap alam) adalah pilar utama dalam kehidupan manusia. Ketiga nilai itu sesungguhnya adalah inti dari ajaran seluruh agama, namun kurang dihayati dan sulit dibumikan dalam ruang kehidupan nyata.

Simbol dari Keteguhan Iman Manusia

Bagi Syari’ati, kisah Ismail adalah simbol dari keteguhan iman manusia. Kelemahan iman hanya akan menghalangi kebajikan. Simbolisasi itu menunjukkan, bahwa manusia tak lebih dari makhluk yang dhaif, gila hormat, haus pangkat, lapar kedudukan, dan nafsu berkuasa. Semua sifat dhaif ini harus disembelih atau di-kurban-kan.

Teks kemanusiaan dan narasi keadilan (sosial) yang menjadi spirit utama agama, kini kian tergeser oleh bentuk-bentuk ritual ibadah-mahdah yang artifisial dan formalistik sifatnya. Agama seakan hanya media komunikasi manusia dengan Tuhannya; yang lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal itu, terbukti telah melahirkan beragam problem sosial dan patologi kemanusiaan.

Para agamawan pun, yang fasih menyuarakan keadilan sosial sebagai wirid harian dan tema utama ceramahnya, tak sedikit yang gagal dalam mentransformasi soal keadilan sosial sebagai perintah afirmatif Tuhan untuk ditegakkan dalam kehidupan umat di bumi.

Islam menganjurkan agar kita mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif), tidak menyimpang (hanifan), dan toleran (samaahah). Pesan Kurban adalah refleksi nyata atas persoalan krusial yang dihadapi umat, sekaligus metoda ampuh untuk mengatasi problem-aktual kehidupan, seperti kesejahteraan yang kian meredup, keadilan (sosial) yang acap menguap, demokrasi yang makin sumir, hingga kondisi lingkungan yang terus memburuk.

Paradoksnya, di banyak tempat, kita menyaksikan begitu banyak umat yang saleh secara ritual, rajin berkurban, gemar berhaji, dan khusyuk dalam berdoa, namun kerap tak peduli pada tampilnya kemunkaran. Perilaku manusia yang materilasitik, vandalistik, dan eksploitatif faktual telah melahirkan sikap tamak, serakah, picik, dan jumud.

Manusia dengan rakus telah mengeksploitasi alam tanpa batas. Pembangunan yang tak terkontrol, penambangan yang tak memenuhi kaidah lingkungan, pengeboran isi perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut yang serampangan, penebangan hutan yang ekstrem, nyata telah menghadirkan murka alam dan beragam bencana kepada kita.

Pesan ini tersirat dalam kitab suci, yang menyampaikan sebuah nilai profetik agama, bahwa kerusakan alam (baik di darat, laut maupun udara) disebabkan oleh tangan-tangan manusia. Maka sebagai akibat dari perbuatannya, ditimpakanlah bencana, supaya manusia merasakan perbuatannya itu, agar mereka kembali ke jalan yang benar (al-Quran, 30:41).

Saatnya, kita wujudkan spirit kemanusiaan seperti diajarkan Ibrahim, dan me-lafadz-kan keteguhan iman seperti diukir Ismail. Dalam konteks ini, sikap adil dan toleran juga harus mewujud dalam aspek sosio-antroposentris, yakni sikap dan laku kita yang hanifan terhadap alam; sebagai bumi manusia dan tempat bermukim seluruh makhluk Tuhan.

Krusialnya, tantangan yang kita hadapi saat ini alam jauh lebih berat dan kompleks, untuk membumikan kemanusiaan, mengaktualisasi empati sosial, dan merawat sikap toleran kita terhadap alam dan lingkungan, karena kita hidup di tengah buaian modernisme, gemerlap liberalisme, kepungan nihilisme, dan perilaku hidup yang kian menghamba pada materi. ***


Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama.
Tags