Mendendang Sajak Bersama Salman Yoga

SALMAN YOGA S - Di samping menulis puisi, esai juga menulis novel, novelet, berita, cerpen, drama dan teater. Anak ke 12 dari 13 orang bersaudara ini aktif dibeberapa organisasi sosial, profesi, seni dan gerakan kebudayaan. Penerima Anugrah Satya Lencana Budaya “Sara kata” tahun 2007 dari pemerintah Aceh.  Mengikuti sejumlah even dan pementasan disejumlah kota, pertemuan penyair dan sastrawan nasional serta kegiatan ilmiyah lainnya.  Selengkapnya tentang Salman KLIK DISINI


== RENGGALI ==
Untuk keseratus sekian taburan
Do’anya masih saja kembar dalam air yang dialirkan ke tanah merah
Meski alfatikhah mengandung tujuh samudra
Dalam aliran air yang dituangkan di pusara
Kematian tetap saja seragam duka membentuk berkas warna
Demikian liang lahat digali dan ditimbun kembali
Mimpi dan cinta kian mekar ditangkai renggali sebagai ziarah
Selalu iringan panjang dan ngeri
Menghantar keranda kepenghujung bumi
Janji menjadi bulat matahari, memanaskan
Dilapisan ganjil kain kafan
Dan aroma kapur barus menembus, membalut dan
Menyusup kerongga dada ibu yang terlentang
Tangannya mengapit seperti tengah shalat khusuk
Mulut diam dan kaku seperti membaca sani dalam hati
Mata terpejam rapat enggan melihat dunia
Iapun bertanya pada nisan yang terpahat
Apakah yang tengah terjadi ?
Siapakah sebenarnya yang menjadi pembenci ;
Betulkah tni, iakah gam, benarkah milisi ?
Atas catatan yang mana harus kutanan renggali
Atas kematian dan pusara siapa kutabur renggali
Sedang aku adalah turunan bunga
Disunting dan dimekarkan dari kedamaian dan cinta sesama
Atas kelahiran siapa kuberi nama dan kenduri tujuh hari
Sedang putra-putriku lahir tanpa kepala hati dan kaki
Sedang perjalanan terus memanjang memberi tekateki

Sedang mimpi-mimpi menumpuk bak sampah-sampah tak berarti
Oooooo bunga dan renggali
Dusun dan kampung bumi
Hati dan nurani birahi
Mekar bak janji-janji: hukum tak berarti



Salman Yoga S | Takengon, 2005-2006 



== CEH BERDIDONG RENGGALI ==

Lagu putik mekar pada pagi ketika kabut putih mengepak
Di sayap udara,
Ceh mendendangkan matahari sebagai kekasih yang datang dari dusun
Dengan suara rindunya ketangkai
Ooo … belantara
Adakah cinta bunga yang mekar di sal ceh membalut leher dunia ?

Ceh berdidong renggali menembangkan damai,
Kudengar puisi menjadi cahaya pada wirid malam yang paradoks
Kematian selalu saja dianggap penyelesaian
Pembakaran pembunuhan menjadi satu pembenaran
Sementara lingkaran didong terus saja menawarkan kemungkinan-kemungkinan
Harum putik yang hidup
Di atas tikar pandan yang mulai terberai karena usia
Kutemukan mimpi-mimpi ceh yang menguap sia-sia
Dalam lantunan suara sebagai pencinta
Yang bertepuk – tepuk dari senja hingga pagi
Dari hulu ke hilir silih berganti syair puisi, lahir dan dilantunkan ke udara
Kebebasanana adan kemerdekaan nurani menghujatkan segala cinta dan benci

Ceh berdidong renggali dengan dingin angin pegunungan kopi
Keluguan penyair menjerat simpati merangkul hutan dan seisi bumi
Dimuntahkan sebagai mual yang tak tertahan lagi
Epidemi yang menjalar kerelung-relung bayi, berayun-ayun di atas kain sarung yang menggantung
Rangkai segala peri dan benci
Cium segala bau dan ngeri, telan segala cinta dan puji
Ceh berdidong renggali sebagai malaikat malam yang turun menyampaikan bagian
Dari seruan illahi
Bagi siapa saja yang datang dan pergi



Salman Yoga S | Takengon, 2006 
______________________________
Catatan :
Ceh = penyair didong.
Didong = sastra lisan masyarakat Gayo berupa dendang dan nyanyian puisi dan syair-syair dengan tepukan tangan sebagai musik pengiring.
Renggali = nama bunga yang tumbuh di tengah belantara dataran tinggi Gayo.



== ELANG MERAH ==
In Memoriam Ceh To’Et
Kepakan sayap itu telah terjuntai lemah
Seperti gemulainya gerak renta menarikan senja bersama hujan
To’et sang elang merah yang menyambar kabut
Kini tertimbun tanah merah di pemakaman Kala Nareh, tetapi stut akordionnya seperti Barisan pinus tua yang tegak dengan nada-nada pedusunan
Tetapi guk dan sariknya terus berdendang mengiang bersama kesetiaan didong sejati

Sebuah kanvas, lusuh tersenyum menggantung di dinding papan tua
Menyimpan ribuan tepukan bantal dan kenangan lelaki tua yang kembali pada asalnya
Sang elang merah telah istirahat bersama pohon lontar, sedang didong-didongnya Kian didendangkan sebagai suatu yang terus hidup, meskipun terkadang do’a menjadi terlupa tuk dialamatkan



Salman Yoga S | Kala Nareh, Mei 2004 

Catatan :
guk = cekukan suara
sarik = jeritan



== POLAN KEPOLIN ==

Bagi: W.S Rendra

Bendera apa ?
Semua warna sama dari jalinan nuansa
Bendera apa ? Semua kain yang ditiup angin akan berkibar di udara
Bendera apa ?
Kehormatan bukan pada jalinan kapas
Bendera apa ?
Dada yang sebenarnya rasa dan negara
Marwah dan hitam putihnya kehidupan,
Kesetiaan adalah jawaban dan bendera sebenarnya
Acungkan cinta
Dermakan sahaja
Karena bencana selalu ada kolerasinya dengan kita


Salman Yoga S | Jakarta-Takengon, 2003-2006 


== BERGURU KEPADA TANAH ==

Berguru kepada tanah, disana segala hidupmu merebah
flora fauna berlari, manusia berlari mengusung indra dan kemerdekaannya
menuju cahaya bernyala kehidupan khusuk menuai cuaca dan musim melantunkan puja
Berguru kepada tanah disana segala kehidupan dan kematian pasrah
ayah dan ibu yang penuh cinta, menerima dan memberi dengan atau tanpa dicerca
ia segala puncak ketabahan. Kesabaran dari segala kitab suci dan penganut setia

Berguru kepada tanah
tempat tertanam dan tumbuhnya segala akar kehidupan. Tempat segala kemungkinan diciptakan dan dihancurkan kembali bak mainan bocah-bocah merangkai balaok-balok.
Tempat dan panggung segala nilai tumpah. Tempat neraka atau surga diciptakan dengan pilihan.
Berguru kepada tanah di mana kita menjadi pendurhaka dan pengkhianat setia
Berkunjung dan menginjaknya dengan kebencian.
Berguru kepada tanah yang melimpahkan anugrah sekaligus bencana
Memuncratkan emas tembaga sekaligus lumpur sebagai kekayaan derita
Cermin gelap sebagai pembenci
Dan tempat kembali yang takkan pergi kemana-mana
Berguru kepada tanah sebagai guru yang renta



Salman Yoga S | Takengon-Medan, 2006 



== SELEMBAR DAUN KOPI ==
Selembar daun kopi gugur
Jeritnya terdengar menggigil dan dingin sampai kehati
Seperti suara reot rumah tua yang perlahan rebah
Menyembunyikan matahari,
Menimbun mimpiku

Salman Yoga S | Takengon, 2004-2006
Tags