CERPEN | Microphone Meunasah Kami

Oleh: Zulfadli Kawom

Alkisah. Tersebutlah Paloh Raya, sebuah Desa di Mukim Krueng Mane. Sebuah Microphone, pengeras suara menghebohkan se-antero Krueng Mane, Kecamatan Muara Batu Aceh Utara dan Kecamatan Sawang serta Geurugok, Kecamatan Gandapura. Ya, gara-gara orang kampung kami membeli sebuah Microphone Merk TOA ditambah Amplifer dan Cerobong.

Itu terjadi pada tahun 1972. Hanya kampung kami yang memilikinya. Tersiarlah berita bahwa kampong Paloh Raya telah membeli Microphone lengkap satu set. Berita ini tersiar sampei keluar kecamatan. Kecamatan tetangga kami, sawang dan Geurugok, Gandapura. Jadilah kampung kami,kampung yang pertama membeli Microphone di tiga kecamatan tersebut.

Ini semua berkat peran dari Geuchiek (Kepala Kampung) Din. Dia mengajak masyarakat yang dipimpinya untuk berswadaya membeli Microphone, alat Pengeras Suara untuk keperluan informasi di kampung. Setelah membuat rapat dengan tokoh masyarakat diantaranya Waki, Tuha Peut, Teungku Imum, Ketua Pemuda, maka kesimpulan rapat yang di ambil malam itu, Pertama: mengumpulkan padi dari hasil Umueng Bu Prang (Sawah Adat) yang dikerjakan secara syarikat (bergotong royong) tua dan muda laki dan perempuan. Setelah empat kali masa panen, maka terkumpullah sepuluh Gunca atau setara dua ton padi. Rata-rata per- panen hasilnya 2,5 Gunca, atau setengah ton.

Setelah museem keumeukoh, musim panen tiba semua gabah di kumpulkan di Kroung Padee (lumbung) Meunasah. Namun setelah dihitung-hitung belum juga cukup untuk membeli seperangkat Microphone. Lalu Geuchik Din mengadakan Duk Pakat (rapat) lagi di Meuanasah dengan beberapa agenda rapat.Pertama, mengumumkan hasil panen yang telah dikumpulkan selama empat kali musim panen dan jumlah uang setelah padi itu di jual. Saat ini semua gabah telah dijual. Namun uang masih kurang untuk membeli seperangkat Microphone. Kedua, meminta saran dari tokoh masyarakat kampung dan seluruh warga masyarakat kampung bagaimana caranya agar dalam bulan ini kita harus segera membeli Microphone, karena Bulan Puasa segera tiba. Setelah Geuchik Din membuka rapat, menjelaskan semua maksud dan tujuan, dia memberi kesempatan agar warga masyarakat menyumbangkan pikirannya supaya cita-cita bersama segera terwujud.

Seorang warga yang usil namun tak pernah absen ikut rapat, namun usulnya selalu konyol bernama Wahidin mengusulkan agar menjual Tanoh Wakueh (Tanah Wakaf). Semua hadirin tertawa memecah kesunyian malam di Meunasah yang diterangi Panyoet Seurungkeng , Lampu Petromak malam itu. Lalu Teungku Imum (Imam Desa) menjelaskan pada Wahidin, bahwa Tanah wakaf tidak boleh dijual dalam syariah.

“Jangankan kita jual, kita gadaikan saja tidak boleh kalau tanah wakaf “ Jelas Teungku Imum.

Wahidin dan beberapa warag lain yang hadir malam itu mengangguk-ngangguk pertanda sudah faham.

“Masih ada yang ingin memberi usul?” Tanya Geuchik din lagi.

Bang Din Dua Paleut memberi saran agar warga diwajibkan untuk menyumbang atap daun rumbia, karena pekerjaan masyarakat kampung selain bertani dan beternak banyak juga menjahit daun rumbia untuk atap sebagai pekerjaan sampingan. Biasanya dilakukan pada malam hari di rumah-rumah atau di Balee atau Rangkang (gubuk) Aneuk Muda sambil mendengar Hikayat Aceh di Radio

Di sagoe (sudut ) Meunasah blah u tunong (sebelah selatan) terlihat Bang Arun, asyik membulatkan cahaya senter pada dinding Meunasah, dia tidak pernah memberi usul dalam setiap rapat, namun ia selalu hadir dalam setiap rapat kampung. Ia juga tidak pernah membantah usul orang lain dan selalu menerima setiap hasil rapat yang telah disepakati bersama.

Malam semakin larut, suara bleem-bloom (berisik) dari sudut-sudut Meunasah kian ramai. Lalu Cek Suloy, Sekretaris Desa meminta warga agar diam sebentar, kalau ada usul atau ide ditanyakan pada Geuchik atau Tokoh Masyarakat lain, jangan ditanya sesama warga atau mengamanahkan pertanyaan kepada orang lain.

Setelah berkali-kali diberikan kesempatan untuk bertanya, namun beberapa warga masih enggan untuk bertanya, ada yang takut salah, ada yang suaranya kecil seperti Bang Din Dua Paleut yang jadi ledekan para warga lainya. Ada juga yang pendengarnnya sudah kurang bagus dan berbagai alasan lainya.

Jam hampir menunjukan pukul 00.00. Keputusan rapat belum juga diambil. Tiba-tiba Geuchik Ben yang dari tadi mendengar semua pendapat warga tunjuk tangan. Ya. Geuchik Ben. Mantan pimpinan Kampung, namun warga masih memanggilnya geuchik walau sudah tidak menjabat lagi. Kalau dia telah memberi usul biasanya tidak ada lagi usul yang lebih baik. Selalu begitu dari dulu. Namun dia jarang sekali memberi usul di awal dan ditengah pertemuan, selalu di akhir ketika semua telah habis akal dan mulai ngantuk.

“Begini saja, kalau memang uang masih belum cukup, malam ini kita sepakati saja sepuluh ribu per Kepala Keluarga. Sekarang kan lagi musim panen, masyarakat masih punya uang. Tetapi Ingat. Ini tidak akan berhasil andai para tokoh tidak menyumbang terlebih dahulu, baru di ikuti oleh seluruh Kepala Keluarga yang hadir malam ini. Ini saja usul dari saya. Ingat sekali lagi bahwa ini hanya pemikiran saya saja, mungkin masih ada yang lebih bagus lagi silahkan. Mau di dengar atau tidak usul saya juga terserah Geuchik, tokoh kampong dan semua warga yang hadir malam ini. Hanya ini saja dari saya”. Geuchiek Ben lalu kembali mundur untuk menyandarkan punggungnya pada Tameeih (Tiang) Meunasah.

Semua hadirin terdiam sambil memanggut-manggut. Sesekali bunyi “ Thap Tiep” suara korek api warga yang membakar rokok daun. Asap mengepul dan keluar secara perlahan dari celah-celah Tingkap (Jendela ) Meunasah. Begitu juga para pecandu sirih, mereka sesekali meludah air sirih dari mulutnya melalui celah-celah Alue (lantai) Meunasah.

Jam sudah menunjukkan pukul 00.30. Nyala Lampu Petromak mulai mengecil, biasanya kalau dinyalakan selapsa mangrib. Minyeuk Gah (Minyak Tanah) akan bertahan sampai pukul 00.00. kalau sudah lewat pukul ini, Bang Tafa seorang petugas yang ditunjuk melalui rapat kampung untuk menjaga, memelihara Panyoet Seurungkeeng (Lampu Petromak).

“Sial. Kita kehabisan Minyak” kata Apa Tafa tiba-tiba bersuara diantara orang-orang yang mulai berisik lagi.

“Kalau bisa cepat-cepat diambil keptusan rapat malam ini, karena tidak mungkin pada jam ini juga saya mengayuh sepeda ke Ibukota Kecamatan, Krueng Mane yang jaraknya satu Kilometer dari sini.

Lalu Geuchik Din bertanya pada Apa Tafa.

“Apa benar kita telah kehabisan minyak tanah untuk Lampu Petromak malam ini?”

“Beutoy Teungku Geuchik (Benar Bapak Kepala Desa)” jawab Apa Tafa singkat.

“Ci bek karu ilee siat (coba jangan rebut dulu sebentar)..! sergah Geuchik Din pada hadirin rapat semua.

“Apakah Tengku-teungku semua yang hadir dalam rapat malam ini setuju dengan pendapat geuchik Ben?”

“Setujuuuuuuuuuuuuuuuuuuu” jawab hadirin semua bagai paduan suara.

“Baik, kalau sudah setuju semua rapat saya tutup, sebetulnya malam ini juga kita kita pilih orang yang akan membeli Microphone, kita beli dimana dan merk apa” sambil memukul lantai Meunasah tiga kali dan mengucapkan wassalam.[]


*Penulis adalah Sastrawan yang bedomisili di Aceh Utara
Tags