Daud Beureu'eh, Pejuang Kemerdekaan yang Tersingkir


JAKARTA | Samudra News - Indonesia merdeka tentu bukan karena hasil pemberian penjajah. Tanah Air merdeka dengan perjuangan berdarah-darah. Banyak tokoh yang berperan dalam kemerdekaan. Ada yang namanya selalu dikenang tapi sengaja atau tidak ada juga yang tersingkirkan seperti RM Kartosoewirjo, Daud Beureu'eh dan Kahar Muzakkar.

Memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, Samudra News coba mengingatkan peran ketiganya dalam merebut kemerdekaan.

RM Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau RM Kartosoewirjo lahir di Cepu, Jawa Tengah pada 7 Januari 1905. Saat itu Belanda menerapkan politik etis bagi penduduk pribumi. Dia menjadi salah satu anak pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan, karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting saat itu.

Usia delapan tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera, Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Empat tahun kemudian, dia masuk ke sekolah khusus orang eropa, Europeesche Lagere Shool (ELS) di Bojonegoro. Pribumi yang berhasil masuk ELS adalah orang yang dinilai punya kecerdasan tinggi. 

Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam merespon ajaran-ajaran Islam.

Lulus ELS pada 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School (tidak sampai lulus). Semasa sekolah ini, dia mengenal pimpinan Sarekat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto, lalu bergabung ke dalam organisasinya. 

Dia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto menjadi murid sekaligus sekretaris pribadinya. Aksi dan pemikiran politik Kartosoewirjo banyak dipengaruhi Tjokroaminoto.

Di rumah Tjokrominoto, Kartosoewirjo muda berkawan dengan Semaun dan Soekarno. Ternyata, sepak terjang tiga sekawan ini punya andil dalam membawa arah sejarah Indonesia dengan gaya aksi dan politik masing-masing.

Karir kartosoewirdjo melejit saat menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), organisasi lanjutan dari Sarekat Islam. Pemikiran islam Notodiharjo dan pemikiran politik Tjokroaminoto membawanya ke cita-cita mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah).

Masa perang kemerdekaan 1945-1949, RM Kartosoewirjo banyak terlibat. Sikapnya yang keras sering bertentangan dengan pemerintah. Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo akhirnya memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) karena kecewa dengan isi perjanjian renville yang disepakati pemerintah dengan Belanda. Dia menolak isi perjanjian itu karena dianggap mempersempit wilayah Republik Indonesia.

Perjuangan Kartosoewirjo berakhir pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 12 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Daud Beureu'eh

Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil Beureu’eh di Aceh Pidie. Dia bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku. Dia hanya seorang rakyat biasanya. Gelar Teungku di depan namanya menandakan dia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya.

Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh. Dialah sosok yang menjdi cikal bakal semua gerakan kemederkaan Aceh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. Dia tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, dia termasuk salah seorang yang buta huruf meski akhirya bisa juga baca dan tulis huruf latin. 

Dia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang. Pendidikan yang dia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. 

Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di Bumi Serambi Makkah.

Abu Daud juga dikenal sebagai orator dan seorang dengan hati yang pemurah. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli. 

Sembilan tahun kemudian, Daud mendirikan organisasi ulama Aceh, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini menjadi motor perjuangan rakyat Aceh dalam melawan penjajah Belanda.

Ketika Indonesia merdeka, kabar gembira itu terlambat sampai di tanah Aceh. kemerdekaan Indonesia baru diterima pada 15 Oktober 1945. Namun, berita itu memicu semangat juang Daud Beureu'eh memerdekaan Aceh. Segera dia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno, presiden pertama Indonesia. 

Sumbangsihnya terhadap Indonesia di antaranya membangun dua pemancar radio untuk kembali mengkomunikasikan kemerdekaan Indonesia kepada dunia yang terputus akibat agresi militer II.

Selain itu, saat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di Bukit Tingi, Sumatera Barat, dipindahkan ke Bireuen, Daud dan Rakyat Aceh yang menanggung seluruh biaya akomodasi.

Aceh juga menyumbangkan kepada RI pesawat terbang Seulawah I dan II. Inilah yang menjadi cikal bakal penerbangan Indonesia. Namun, tuntutan Aceh berada di bawah Syariat Islam belum juga terwujud sebagaimana dijanjikan Soekarno.

Merasa kecewa, pada 21 September 1953, Daud membelot. Dia memimpin dan memproklamasikan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh dan memberinya otonomi.

Kahar Muzakkar

Abdul kahar Muzakkar lahir, 24 Maret 1921 di Lanipa, di Distrik Ponrang, Sulawesi Selatan. Dia berasal dari keturunan bangsawan kaya dan terpandang. Setelah tamat di sekolah rakyat, Kahar melanjutkan studi ke Sekolah Muallimin, Solo, Jawa tengah. Dia kembali ke kampung halamannya setelah tiga tahun bersekolah dan mendapat istri di Solo.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Kahar tertular euforia dengan berharap Jepang bisa membebaskan Indonesia dari Belanda. Selama pendudukan Jepang, dia bekerja menjadi pegawai Nippon Dohopo di Makassar.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Kahar mendirikan Gerakan pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS). Dengan organisasinya itu, Kahar terlibat dalam rapat besar Ikada di Jakarta, 19 September 1945. Dalam rapat raksasa itu, Kahar berselempangkan sebilah golok membela Soekarno dan Hatta dari kepungan tentara Jepang.

Kahar dan anak buahnya kemudian melebur ke Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS), gerakan perlawanan fisik melawan penjajah. Namun, tidak bertahan lama. Semasa di KRIS, Kahar sempat membebaskan 800 tahanan yang sebagian laskar berdarah Bugis-Makassar dari Nusakambangan. Laskar-laskar ini lalu menjadi angkatan perang yang diperbantukan pada Markas Besar Tentara.

Di sinilah karir Kahar mulai cerah. Dia ditugaskan menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi. Namun, Kahar belakangan tersingkir oleh hadirnya perwira-perwira yang punya pendidikan formal. Akhirnya, Kahar menjadi perwira tanpa jabatan.

Kemarahan Kahar memuncak saat pemerintah Soekarno menolak masyarakat Bugis-Makasar untuk bergabung dengan angkatan perang RI dalam kesatuan Hasanuddin, pahlawan kebanggaan mereka. Pada 1952, Kahar membentuk brigade perang sendiri. 

7 Agustus 1953, kahar, memutuskan bergabung dengan kekuatan Kartosoewirjo yang berbasis di Jawa barat. Kahar dan para pengikut fanatiknya menjadi bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). [berbagai sumber]