Asosiasi Keuchik Aceh Dukung Bendera dan Wali Nanggroe Sebagai Qanun Kekhususan

Forum Bersama Asosiasi Keuchik Kabupaten/Kota se-Aceh (AKA) dan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Aceh mendukung sepenuhnya pengesahan dan penerapan qanun-qanun turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh yang menjadi kekhususan Aceh. Jika tidak dilaksanakan, Forum khawatir perdamaian yang ada dapat terganggu.

Dalam Rapat Kerja Daerah II di Banda Aceh (11-12/12), Forum membuat rekomendasi yang ditujukan kepada dua pihak, yakni Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) serta Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Rekomendasi ini bertujuan untuk memperkuat semangat perdamaian Aceh berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, sekaligus mewujudkan kemandirian gampong di Aceh.

Pada Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI, khususnya Komisi 3, Forum merekomendasikan sejumlah hal, di antaranya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Desa menjadi Undang-Undang; menetapkan dan mengesahkan qanun/peraturan daerah Aceh yang berkaitan dengan Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan salah satu kekhususan Aceh dan sudah dalam proses penyesuaian di Kementerian Dalam Negeri; memainkan peran pentingnya dalam penentuan batas wilayah Aceh, realisasi pelabuhan bebas Sabang, dan pengelolaan sumber daya alam sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang hingga saat ini belum jelas, agar sudah teralisasi selambat-lambatnya pada Desember 2012.

Sementara itu, pada Pemerintah Aceh dan DPRA, Forum menyatakan sejumlah hal, di antaranya dukungan pengesahan dan penerapan qanun yang menjadi kekhususan Aceh, yakni ihwal Wali Nanggroe, Bendera, dan Lambang Aceh; pengalokasian anggaran operasional dan pembinaan untuk Asosiasi Keuchik Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh; dan melibatkan Asosiasi Keuchik Aceh secara kelembagaan dalam merumuskan dan menyusun kebijakan.

Selain itu, rekomendasi juga ditujukan agar dilakukan penguatan kapasitas Keuchik dan aparatur gampong dalam tata kelola pemerintahan gampong melalui pendidikan dan pelatihan setiap tahunnya; kepolisian hendaknya tidak melakukan penangkapan langsung terhadap keuchik apabila ada kasus yang terjadi tanpa melalui mekanisme perizinan dari atasan langsung keuchik, yaitu bupati/wali kota; dan proyek pembangunan skala kecil di gampong tidak dilaksanakan oleh pihak ketiga tetapi diswakelolakan kepada pemerintah gampong.

Ketua Asosiasi Pemerintahan Daerah Seluruh Indonesia – Aceh, Muksalmina, mengatakan bahwa kekhususan Aceh mutlak untuk disahkan dan diterapkan. Jika tidak, maka ia akan menjadi isu yang dapat dimainkan bagi orang-orang yang tidak puas dengan kondisi Aceh yang aman dan damai.

”Yang ingin kita dorong adalah kekhususan Aceh harus dipenuhi. Sebaiknya sebelum SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) turun dari presiden. Karena kemungkinan (disahkan-red) setelah SBY kecil peluangnya. Sebab perjanjian damai ini diprakarsai oleh pemerintahan SBY, khususnya Jusuf Kalla,” kata Muksalmina kepada LenteraTimur.com, Jumat (14/12).

Menanggapi adanya tudingan beberapa pihak, baik di dalam Aceh maupun Indonesia, bahwa qanun-qanun kekhususan Aceh hanya melayani kepentingan orang-orang tertentu saja, Muksalmina mengatakan itu dapat memperkeruh suasana dan menimbulkan konflik baru. Apa yang diperjuangkan memang benar-benar tentang kekhususan Aceh, yang tidak ada di tempat lain.

”Kalau ini semakin lama terjadi, maka di Aceh itu akan terjadi konflik horizontal. Ini yang sangat kita khawatirkan. Karena persoalan di Aceh itu bukan konflik horizontal, dia konflik vertikal. Dan ketika konflik itu berlangsung, yang paling merasakan itu kita, para kepala desa, dan perangkat desa. Karena ketika konflik itu terjadi, kan ada di desa nantinya,” ujar Muksalmina.

Konflik yang pernah terjadi, tambah Muksalmina, dapat terulang kembali melalui ruang kekhususan Aceh yang tidak diakui. Jika ruang kekhususan ini dapat segera selesai, maka segala macam provokasi akan sulit untuk masuk ke Aceh dan kedamaian dapat terjaga. Di sinilah peran penting pemerintah Indonesia untuk menjaga perdamaian.

”Pemerintah pusat sangat berperan. Misalnya ketika berbicara persoalan migas (minyak dan gas-red), perdagangan bebas. Menteri Perindustrian sendiri kan tidak mau mengeluarkan regulasi itu. Kalaupun ada setengah-setengah. Akhirnya implementasinya tidak akan jalan. Regulasinya sudah ada, misal, tapi regulasi teknis tidak dikeluarkan. Akhirnya tidak bisa jalan juga,” ucap Muksalmina.

Forum Bersama ini diikuti oleh anggota jaringan APDESI/AKA Kabupaten/Kota yang dahulu tergabung dalam Forum Aceh. Di antara anggota Forum tersebut adalah Sekretariat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) APDESI Aceh Tamiang (Forum Komunikasi Datok Tamiang), Asosiasi Geuchik Kota Langsa, Asosiasi Geuchik Kabupaten Aceh Timur (AGAT), Asosiasi Geuchik Aceh Utara (ASGARA), Sekretariat DPC APDESI Lhokseumawe, Asosiasi Geuchik Kabupaten Biereun, Forum Kepala Kampung Bener Meriah, Forum Komunikasi Kepala Kampung Aceh tengah, Forum Keuchik Kabupaten Pidie (FKKP), Forum Duek Pakat Geuchik Aceh Besar (FODGAB), Asosiasi Keuchik Sabang (AKKS), DPC APDESI Aceh Barat, Forum Komunikasi Keuchik Kabupaten Abdya (FK3), Ikatan Geuchik Aceh Selatan (IGAS), dan Sekretariat DPC APDESI Siemeulue. [lt]
Tags