Ketika Duduk Mengangkang Menjadi Soal

Oleh: Raihan Lubis

Ada banyak cerita ironi tentang cara menegakkan Syariat Islam di Aceh. Salah satu cerita ironi yang lagi hangat, soal cara duduk perempuan yang dibonceng di sepeda motor. Adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang punya hajat. Jika tak ada aral melintang, aturan ini mulai benar-benar berlaku Senin, 7 Januari 2013- perempuan yang dibonceng tak boleh duduk mengangkang dan harus duduk menyamping.

Sontak saja, berita tentang aturan soal tak boleh duduk mengangkang bagi perempuan yang dibonceng di atas sepeda motor ini, jadi santapan lezat media lokal dan nasional. Media internasional semacam BBC dan Radio Australia ikut memberitakannya.

Aturan yang akan dikeluarkan oleh Walikota Lhokseumawe Suadi Yahya, konon menindaklanjuti masukan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) Wilayah Pase. “Duk phang ateuh honda (duduk mengangkang di atas sepeda motor) bertentangan dengan adat istiadat Aceh dan syariat Islam,” katanya. Seperti dirilis atjehpost.com Rabu (2/1/2012) lalu. Di Aceh, meski sepeda motor yang sedang dinaiki bukan merk Honda, tetap saja dibilang naik Honda.

Ucapan itu mengutip omongan Sekretaris Daerah Lhokseumawe Dasni Yuzar. “Edaran ini rujukannnya adalah Qanun Aceh tentang pelaksanaan syariat Islam, juga adat istiadat Aceh. Jadi tidak perlu lagi dibuat peraturan secara khusus karena hal itu sudah diatur dalam Qanun Syariat Islam meski tidak disebut secara eksplisit. Maka cukup dengan surat edaran yang nantinya akan menjadi dasar bagi WH (Wilayatul Hisbah) lebih memantapkan pengawasan di lapangan,” kata Dasni ketika merilis aturan tersebut. Di Aceh, Peraturan Daerah (Perda) disebut Qanun.

Masih dari berita yang sama disebutkan, ketika ada bantahan duduk menyamping membahayakan keselamatan jiwa, ini jawab sang Sekda. “Yang kita jadikan rujukan adalah Qanun Syariat Islam dan adat istiadat Aceh, bukan kajian logika”.

Alamak.

Setahu saya yang orang awam ini, Islam banyak diterima menjadi agama karena sangat logis. Kenapa ini jadinya mengensankan Islam agama yang tidak logis. Rasanya, makin hari penerapan Syariat Islam di Aceh, semakin memasuki ‘masa kegelapan’. Tengok saja misalnya ketika ada penerapan soal perempuan harus pakai rok beberapa waktu lalu – yang juga dikeluarkan oleh salah seorang bupati di Aceh.Juga soal perempuan tak boleh keluar malam.

Pun begitu, marilah kita telah bersama soal perempuan tak boleh duduk mengangkang ketika dibonceng di sepeda motor ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mengangkang -untuk kata kerja- salah satunya memiliki arti, duduk, tidur atau berjalan dengan kaki melebar. Contohnya dalam pemakaian kalimat, duduklah yang baik, jangan mengangkang seperti itu. Jadi jelas soal pengertian aktivitas mengangkang yang dimaksud.

Ketika berita tentang perempuan tak boleh mengangkang saat dibonceng naik sepeda motor,menyebar bak virus flu burung di media sosial,beberapa teman berkomentar cukup positif. Seperti misalnya,, kalau kebijakan itu disebabkan karena sang walikota sungguh sangat perhatian dan sayang kepada para perempuan di Lhokseumawe.

Pasalnya, banyak anak-anak perempuan umumnya anak-anak ABG alias Anak Baru Gede yang suka memakai baju kekecilan (lagi mode), meski rambutnya ditutup jilbab. Nah, bajunya suka naik agak ke atas apalagi ketika diboncengnya naik sepeda motor yang jok-nya rada nungging. Sehingga, ketika duduk mengangkang, bagian belakang tubuhnya terlihat sedikit. Parahnya lagi, ada pula yang sampai kelihatan celana dalamnya. Narkoba, begitu singkatan untuk kelompok ini. Alias Nampak kolor bangga.

Kalau duduk menyamping, meski agak-agak terlihat sedikit punggung dan mungkin juga celana dalamnya, tapi tidak langsung secara frontal oleh orang yang berkendaraan di belakangnya. Soalnya, sedikit banyak mempengaruhi konsentrasi pengendara lainnya, jika secara tak sengaja melihat. Ini tentu saja dapat berakibat fatal.

Tetapi, semakin hari, komentar-komentar yang berseliweran makin membuat aturan ini jadi bulan-bulanan di ranah publik.

Kalau memakai adat Aceh sebagai dasar pikiran aturan ini, rada-rada susah juga rujukannya. Soalnya, jika dilihat dari pakaian tradisional perempuan Aceh- yang kerap mengenakan kain yang dibentuk seperti celana panjang, dan kemudian menjadi benar-benar celana panjang – menunjukkan perempuan-perempuan Aceh melakukan banyak aktifitas di berbagai tempat dan juga di berbagai pekerjaan.

Artinya, dari sejak zaman dulu, perempuan Aceh banyak melakukan aktifitas yang membutuhkan ruang gerak yang cukup banyak. Jadi, agak-agak aneh saja rasanya, jika tak ada aktifitas mengangkang. Semisal menunggang gajah. Bukankah ketika kerajaan Aceh berjaya, kita punya pasukan gajah yang hebat. Dan bukan tak mungkin ada prajurit perempuan yang menunggang gajah-gajah itu. Dan tentu saja itu tak bisa dilakukan dengan cara duduk menyamping.

Kalau disebut tak sopan secara adat dan tata krama. Mungkin ya, kalau mengangkang dilakukan sambil berjalan. Sambil tidur ? belum tentu, apalagi ketika perempuan harus melahirkan. Pengalaman saya pribadi, pernah hampir terjatuh dari sepeda motor gara-gara duduk menyamping ini. Karena rok yang saya gunakan masuk ke bagian roda belakang. Di negeri tetangga, Malaysia, perempuan yang dibonceng tak boleh duduk menyamping. Bisa kena tilang akibatnya, karena membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. [ks]