JKN = Pengabaian Kewajiban Negara

Oleh: Najmah Saiidah
Tanggal 1 Januari ini, Pemerintah Indonesia mulai mengoperasikan Jaminan Kesehatan Nasional. Program ini diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Jaminan Kesehatan Nasional ini dipropagandakan sebagai upaya Pemerintah untuk mengayomi masyarakat kecil yang selama ini kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Kabarnya masyarakat Indonesia akan mendapatkan  jaminan kesehatan yang disebut UHC (universal health coverage), yaitu cakupan layanan kesehatan yang menyeluruh. Artinya, rakyat siapapun bisa berobat gratis di mana saja, kapan saja, tanpa ada diskriminasi. Bahkan dalam salah satu forum sosialisasi JKN, seorang dokter berucap,”Mau cuci darah 1000 kali juga gratis, tidak ada batasan…Tidak ada lagi pasien yang meninggal karena dipingpong dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya.” (majalahkesehatan.com, 23 Agustus 2013).  Katanya jika program JKN sempurna, seluruh rakyat akan mendapat jaminan kesehatan. Katanya, jika JKN sudah jalan, rakyat akan mendapat pelayanan kesehatan gratis.


Dengan propaganda ini, tentu saja membuat masyarakat tergiur, seperti angin segar bagi rakyat, terutama rakyat yang selama ini kesulitan mendapatkan kesehatan yang layak karena kesulitan biaya.  Apakah benar demikian ?


Ternyata jauh panggang dari api … Karena ternyata JKN ini menggunakan prinsip asuransi sosial, yakni setiap individu rakyat wajib membayar iuran per bulan kepada BPJS. Sifat pembayarannya pasti, alias paksaan. Jika rakyat tidak membayar, ia akan diberi sanksi atau diberlekukan denda  oleh Negara/  Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, disebutkan pembiayaan JKN berasal dari iuran rakyat yang mengikuti prinsip asuransi sosial yang sifatnya wajib. Dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasal 19 ayat 1 disebutkan,”Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.” Dalam pasal 1 butir ke-3 UU No 40 Tahun 2004 disebutkan,”Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang sifatnya wajib.”


BPJS dibolehkan mengambil iuran secara paksa (alias memalak) dari rakyat setiap bulan (mulai 1 Januari 2014), dengan masa pungutan yang berlaku seumur hidup, dan uang yang diambil tidak akan dikembalikan. Kecuali dikembalikan dalam bentuk layanan kesehatan menurut standar BPJS, yaitu saat sakit saja. Jika rakyat tidak bayar, akan dihukum oleh negara dengan sanksi berupa denda. (Lihat Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta : Kemenkes RI, 2013).


Lalu, berapa besarnya uang yang dipungut paksa  oleh BPJS?  Sesuai standar besarnya iuran JKN, jika seseorang itu pekerja yang menerima upah, misalnya PNS atau karyawan perusahaan swasta, besarnya iuran adalah 5% dari uang gaji, dimana 3% dibayar oleh pemberi kerja dan 2% dibayar oleh pekerja. Misalkan seorang pria PNS mempunyai seorang isteri dan tiga anak usia sekolah, dengan penghasilan Rp 3.755.000 per bulan. Maka besarnya iuran adalah 2% dari Rp 3.755.000 atau Rp 75.100 per bulan.  Sedangkan bagi pekerja yang bukan penerima upah, misal tukang bakso atau tukang becak, besarnya iuran per orang per bulan Rp adalah 25.500 (untuk perawatan kelas III), atau Rp 42.500 (untuk perawatan kelas II), atau Rp 59.500 (untuk perawatan kelas I). Padahal  PNS tersebut dan juga tukang bakso tadi, masih harus membiayai keluarganya, baik uang sekolah anak, listrik, air, sewa rumah dan sebagainya, masih juga harus mengalami  pemalakan struktural atas nama BPJS.  Apakah ini yang dikatakan sejahtera ?  Sudah jatuh … tertimpa tangga pula.


Dari beberapa penjelasan di atas, maka semakin jelas bahwa JKN ini selain merupakan konsep yang tidak lahir dari syariat Islam, juga bertentangan dengan Islam.  Dari satu sisi, sesungguhnya praktek yang diterapkan pada JKN ini bukanlah jaminan kesehatan tetapi ia merupakan asuransi kesehatan.    Di sisi lain praktek JKN dengan  BPJS sebagai pelaksananya merupakan pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak pemerintah atau penguasa/negara, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.  Hal inipun tidak dibenarkan dalam Islam, haram hukumnya.


JKN = Asuransi Kesehatan  Haram Hukumnya

Dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, disebutkan pembiayaan JKN berasal dari iuran rakyat yang mengikuti prinsip asuransi sosial yang sifatnya wajib. Dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasal 19 ayat 1 disebutkan,”Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.” Dalam pasal 1 butir ke-3 UU No 40 Tahun 2004 disebutkan,”Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang sifatnya wajib.”

Sesungguhnya JKN bukanlah jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional.  Seluruh rakyat wajib membayar dahulu setiap bulannya dan hanya peserta yang membayar premi saja yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Dua hal yang sangat berbeda bahkan bersebrangan. Karenanya konsep JKN bertentangan dengan jaminan kesehatan dalam Islam. Dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali.  Sedangkan dalam JKN, ‘jaminan kesehatan’ diperoleh oleh rakyat harus dengan membayar iuran yang dipaksakan.  Yang terjadi justru  bukan jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional.  Dua hal yang sangat berbeda bahkan bertentangan.  Terlebih lagi praktek asuransi  secara umum tidak dibenarkan dalam Islam, haram hukumnya.  Karenanya kalaulah JKN ini dipaksakan kepada rakyat berarti Negara memerintahkan rakyatnya untauk melakukan keharaman secara berjama’ah.  Tentu saja hal ini tidak bisa dibenarkan.


Dalam ajaran Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut :
عن جابر قال: بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقا ثم كواه عليه
Dari Jabir RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).


Dalam riwayat yang lain,
عن زيد بن أسلم عن أبيه قال مرضت في زمان عمر بن الخطاب مرضا شديدا فدعا لي عمر طبيبا فحماني حتى كنت أمص النواة من شدة الحمية
“Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).

Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku Khalifah  telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).  Kedua hadits ini juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa jaminan kesehatan wajibdiberikan Negara  kepada rakyatnya dengan cuma-cuma tanpa kompensasi apapun.


JKN = Pengabaian Negara terhadap Kewajibannya Mengurusi Urusan Rakyatnya di Bidang Kesehatan, Haram Hukumnya


Konsep JKN adalah konsep neoliberal, JKN pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi (= BPJS), dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.yang berusaha untuk menghilangkan peran dan tanggung jawab negara dalam mengurus rakyat, termasuk urusan  kesehatan.   Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa pasal dan penjelasannya.  Dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS  secara berkala.   Ditambah lagi  dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.  Sangat jelas bahwa Negara yang seharusnya bertanggungjawab mengurusi rakyatnya termasuk kesehatan, malah justru membebankan masalah ini kepada rakyatnya.


Sementara dalam ajaran Islam, negara mempunyai peran sentral dan sekaligus bertanggung jawab penuh dalam segala urusan rakyatnya, termasuk urusan kesehatan.    Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara. Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab seorang Imam / Khalifah (kepala negara Islam) untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya.
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
فالأمير الذي على الناس راع، وهو مسئول عن رعيته
“Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (gembalaannya).” (HR Bukhari no  4904 & 6719; Muslim no 1827).

Pelayanan kesehatan dalam Islam dibangun di atas paradigma, bahwa kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, siapapun dia, miskin-kaya, rakyat-penguasa, muslim-non muslim, dan demikianlah faktanya. Sabda Rasulullah saw, yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapai keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”.


Artinya, dengan alasan apapun, negara tidak berwenang merampas (mengkomersilkan) hak publik tersebut, sekalipun ia orang yang mampu membayar pelayanan kesehatan. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.


Artinya, dengan alasan apapun, negara tidak berwenang merampas (mengkomersilkan) hak publik tersebut, sekalipun ia orang yang mampu membayar pelayanan kesehatan. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.


Sabda Rasulullah saw, yang artinya,”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).


Tugas ini yang tidak boleh dilalaikan Negara sedikitpun, walau hanya kepada seorang warga negara Khilafah.   Karenanya haram hukumnya Negara atau kepala Negara mengabaikan perannya dalam mengurusi urusan rakyatnya, termasuk kesehatan.


Demikianlah, penjelasan Islam tentang JKN, merupakan konsep yang bertentangan dengan Islam karena merupakan salah satu bentuk pengabaian Negara terhadap urusan rakyatnya.  Sebaliknya Islam,   Khilafah Islamiyah justru dituntut untuk menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya, sebagai pemelihara urusan umat. Terbukti, ketika Khilafah Islamiyyah tegak di muka bumi ini, maka khilafah menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah SAW pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Maal.


Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah SAW di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah SAW memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslimin milik Baitul Maal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diijinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (onta), karena mereka memang berhak.


Dalam buku “Tarikhul Islam as Siyasi” diceritakan bahwa Sayyidina Umar ra telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut.Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para Khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra.


Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan serta, dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit. Wallahu a’lam bishshawwab. []
Sumber bacaan :
  1. Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Penerbit Darul Bayariq. Aman.
  2. An-Nabhaniy, T. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi Fil Islam. Penerbit Darul Ummah. Bairut
  3. Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta : Kemenkes RI, 2013
  4. Rini Syafri, “Mengapa JKN Wajib Ditolak”, www.hizbut-tahrir.or.id, hlm. 2.
  5. KH. M. Shiddiq Al-Jawi [Pandangan Islam terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)*]
Tags