Syahri Sakidin dan Sebagian Pemilih di Australia Barat |
samudra-news.com | PERTH - Pemilh yang memberikan suaranya pada pilihan
legislatif di Australia Barat hanya sejumlah kurang dari sepertiga DPT.
Kondisi sosiologis serta psikologis masyarakat Indonesia di Australia
Barat memang khas, sehingga tidak bisa langsung dicap sebagai apolitis. Demikian disampaikan Syahri Sakidin, Ketua Pengawas Pemilu Luar Negeri
Australia Barat, Senin (21/4).
Menurut Syahri, kondisi khas tersebut setidaknya
ada tiga. Pertama, banyak di antara masyarakat Indonesia di sana yang
merupakan korban-korban kerusuhan Mei 1998. Dengan situasi di Indonesia
yang kacau balau dan terus mengancam keselamatan mereka waktu itu, mereka
mengungsi ke Australia. Akibatnya, ada semacam trauma tentang Indonesia.
"Tidak semestinya kita berpandangan negatif pada apatisme mereka.
Mereka benar-benar korban yang dizalimi di Indonesia pada waktu itu,
sehingga justru kita harus terus bersimpati dan melakukan pendekatan
kepada kalangan ini," kata Syahri Sakidin.
Kondisi khas kedua adalah banyaknya WNI yang sudah berstatus permanent
resident Australia. Dengan status ini, mereka masih memegang paspor Indonesia,
tapi rata-rata sudah ingin menetap seterusnya di Australia. Walhasil
ada kecenderungan mereka sudah tidak merasa berkepentingan dengan
perubahan di Indonesia.
Kondisi
ketiga adalah karena dari DPT di Australia Barat, banyak di antaranya
yang berstatus mahasiswa. Kelompok ini sering datang dan pergi tanpa
melapor, sehingga acapkali sulit terpantau.
Dari DPT sejumlah lebih dari 6000, pemilih di Australia Barat yang memberikan suara di 4 TPS hanya mencapai jumlah kurang dari 2000. Pada Pemilu legislatif 9 April lalu, PDIP meraih 56% suara, disusul PKS dan Gerindra dengan masing-masing meraup 16% dan 11%.[]Iqbal | Red