Banjir : Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan

0
Banjir : Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan
samudranews.com - Saudaraku, banjir yang melanda daerah kita, Kabupaten Aceh Timur telah berangsur surut. Seminggu terakhir kita dapati suasana di Aceh Timur layaknya masyarakat yang baru bangkit dari keterpurukannya karena musibah ini. Kita mulai kembali ke rumah, membersihkannya. Sebahagian dari kita juga mengunjungi ladang maupun tambaknya yang beberapa waktu lalu berubah menjadi lautan luas. Akibat dikepung banjir sejak 17 – 28 Desember 2014 lalu, Kabupaten Aceh Timur mengalami kerugian materi ditaksir mencapai Rp 462 miliar.

Kerugian tersebut belum termasuk Bidang Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura, karena belum selesai penghitungan. Sebanyak 24 kecamatan mengalami dampak banjir, mulai dari Birem Bayeun hingga ke Madat. Seluruhnya karam dan banyak fasilitas umum yang rusak. Berdasarkan pendataan tercatat 33 unit rumah mengalami rusak total alias hanyut dihantam banjir, 157 unit rumah mengalami rusak berat dan 272 unit rumah mengalami rusak ringan. Sementara 50 kilometer jalan rusak berat serta 15 unit jembatan juga hancur (Beritasore 6/1/2015).

Semua itu baru kerugian fisik ekonomis, belum memperhitungkan kerugian atau dampak psikologis dan mental yang tak dapat diangkakan, seperti hilangnya rasa aman, makin meningkatnya rasa cemas atau tertekan, dan tekanan kesulitan hidup sebagai dampak lanjutan dari musibah yang terjadi. Musibah yang menimbulkan kerugian begitu besar ini, harus kita renungkan dan maknai untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik ke depan baik di dunia dan terutama di akhirat.

Iman dan Sabar
Berbagai musibah yang melanda itu terjadi atas izin dan sesuai kehendak Allah sebagai ketetapan-Nya.

Allah berfirman :
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”. (TQS. at-Tawbah [9]: 51).

Sebagai ketetapan (qadha’) maka musibah itu harus dijalani dengan lapang dada, perasaan ridha, disertai kesabaran dan tawakkal kepada Allah (QS al-Baqarah: 155-157). Hanya saja, kesabaran yang harus dibangun bukan hanya kesabaran yang bersifat pasif dan kepasrahan, melainkan kesabaran yang positif dan aktif. Yaitu kesabaran yang disertai perenungan untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.

Memantik Kesadaran Sebagai Hamba Yang Lemah
Musibah dari sisi air dan daratan didatangkan oleh Allah untuk mengingatkan dan mengembalikan kesadaran spiritualitas manusia akan azab Allah SWT.

Firman-Nya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap (hukuman) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap (azab) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan angin disertai debu dan kerikil, maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (TQS al-Mulk [67]: 16-17).

Musibah yang Allah timpakan itu pada dasarnya untuk memberi peringatan dan mengembalikan kesadaran pada diri manusia terhadap keMahakuasaan Allah Pencipta alam semesta. Mengingatkan dan mengembalikan kesadaran betapa lemahnya manusia, dan betapa terbatasnya pengetahuan manusia. Mengembalikan kesadaran sebagai makhluk ciptaan dan sebagai hamba dari al-Khaliq yang tidak layak bermaksiat kepada-Nya dan menyimpang atau menyalahi peringatan yakni wahyu-Nya serta mendustakan-Nya.

Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan
Kesadaran spiritual yang dikembalikan oleh musibah itu haruslah membangkitkan energi penghambaan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan. Energi untuk makin meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dalam arti yang luas.

Selain itu kesadaran spiritual itu haruslah juga membangkitkan energi untuk melakukan perbaikan, meluruskan penyimpangan, melakukan ketaatan dan kembali menempuh jalan dan menerapkan sistem yang benar, jalan dan sistem yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala. Kesadaran nalar ini harus muncul, sebab pada dasarnya semua musibah yang terjadi, di dalamnya selalu ada peran dan keterlibatan manusia. 

Allah Ta’ala berfirman:
"Musibah apa saja yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar.” (TQS. asy-Syura [42]: 30).

Keterlibatan manusia itu bisa pada konteks terjadinya musibah yang diantaranya berupa perilaku yang memiliki hubungan sebab akibat dengan terjadinya musibah menurut sunatullah. Atau perilaku, tindakan dan kebijakan yang berakibat pada besarnya dampak musibah. Perilaku buruk membuang sampah ke sungai, membuka lahan serampangan, membangun pemukiman di sempadan sungai, dan sebagainya hanyalah sekedar contoh. Begitu pula perambahan hutan, penambangan terbuka di hutan lindung, alih fungsi lahan sembarangan, pembukaan perumahan tak ramah alam, penimbunan situ, daerah resapan dilapisi beton dan aspal, ruang terbuka hijau sesak ditanami gedung dan kawasan bisnis, dan sebagainya. 

Semuanya merupakan peran manusia secara individu dan kelompok dalam terjadinya bencana. Semua itu bisa terjadi karena dibiarkan atau lebih buruk lagi justru dibingkai oleh kebijakan buruk dari pengambil kebijakan.

Kebijakan yang buruk juga berandil membesarnya dampak musibah. Berbagai musibah sebenarnya bisa dicegah. Potensi bencana yang mengancam bisa dikurangi. Dampak musibah bisa diminimalkan. Namun data bencana yang ada belum dimanfaatkan optimal. Peta kerawanan bencana, data curah hujan, peringatan pergerakan tanah, peringatan cuaca ekstrem, dan pengalaman bencana sebelumnya tidak dijadikan pembelajaran untuk mengantisipasi bencana. 

Saat bencana melanda, politisi dan penguasa mencari kambing hitam, menyalahkan penguasa lalu, bahkan menyalahkan hujan, lempar tanggung jawab dan manajemen penanganan bencana tidak terpadu. Kepemimpinan pun tidak tampak dalam mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana. Lemahnya koordinasi antarlembaga dan antar daerah menjadi bukti. Semua itu makin diperparah dengan sistem anggaran yang tidak adaptif terhadap musibah. Kebijakan dan tindakan sebelum, selama dan sesudah terjadinya musibah yang seharusnya dibuat dan dilakukan justru diabaikan. Hal itu diantaranya akibat absennya perhatian terhadap urusan rakyat dan nihilnya spirit pelayanan dan ri’ayah menjamin berbagai kemaslahatan rakyat, terkikis oleh doktrin, sistem politik dan ideologi sekuler kapitalisme.

Semua perilaku dan tindakan buruk baik dari individu maupun kelompok itu haruslah dipertanggungjawabkan. Kebijakan yang diambil dan tindakan buruk yang dilakukan, atau sebaliknya kebijakan yang seharusnya diambil tapi tidak diambil dan tindakan yang semestinya dilakukan tetapi tidak; yang semua itu secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya musibah atau memperparah dampak musibah haruslah dipertanggung jawabkan oleh pengambil kebijakan dan penguasa yang bertanggungjawab.

Dan yang lebih penting lagi, musibah yang terjadi haruslah bisa membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk meluruskan segala hal yang salah dan melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan (fasad) yang ada. Juga membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk mengakhiri dan meninggalkan sistem bobrok buatan manusia yakni sistem dan ideologi sekuler kapitalisme yang saat ini diterapkan; dan menggantinya dengan kembali kepada aturan, sistem dan ideologi yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. 

Tanpa sampai pada kesadaran itu, maka kita telah gagal memaknai musibah atau setidaknya telah memaknainya secara pincang. Semua itu hanya bisa sempurna kita wujudkan dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui sistem Khilafah Rasyidah. Itulah sesungguhnya hikmah dari musibah yang harus diwujudkan. 

Allah Ta’ala berfirman:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS ar-Rum [30]: 41).

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)