Getirnya Hidup Janda Prajurit

0
samudra news, aceh tamiang
Getirnya Hidup Janda Prajurit 
samudranews.com | ACEH TAMIANG - Tidak semua isteri Tentara Nasional Indonesia (TNI) bernasib mujur, mendapatkan fasilitas yang layak dari negara, ada gaji pensiunan, tunjangan hidup dan jaminan kesehatan. Seperti yang dialami Incerijah (78), warga desa Ie Bintah Kecamatan Manyak Payed Kabupaten Aceh Tamiang.

Nenek dari dua orang cucu ini telah merantau ke Aceh sejak tahun 1956, ketika ia mengikuti suamianya (Alm) Abdullah yang merupakan seorang prajurit TNI AD Bataliyon 706 Aceh yang di tugaskan ke Palu, Sulawesi Tenggah kala itu.

“Saya ikut suami ke Ace ini, sejak tahun 1956 sampai sekarang. Almarhum suami tentara. Dia dari Aceh tugas ke Palu dan kemudian kami berjodoh, sehingga saya bisa ada di Aceh dan belum pernah pulang ke Palu,” ujar Incerijah kepada wartawan, Senin (16/3).

Incerijah pada masa remaja adalah gadis desa yang begitu ceria, hidup berkumpul dengan keluarga utuhnya di Desa Pewunu Kecamatan Donggala Kabupaten Palu Barat. Orangtuanya adalah petani biasa yang memiliki serumpun kebun rumbia, kelapa dan beberapa petak sawah yang mereka garap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kehidupan kecil itu masih terkenang baik diingatannya. “Saya dulu sekolah di zaman Jepang,  kami bermain dan belajar dengan metode dan bahasa Jepang,” sebut Ince seraya menambahkan, waktu itu bahan makanan pokok mereka adalah ubi rebus dan buah-buahan seadanya. Bila ada beras harus dicampur jagung karena seluruh bahan makanan pokok dirampas penjajah.

Memasuki usia remaja, ia menghabiskan waktu untuk mengabdi kepada orangtuanya dengan mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus adik-adiknya yang masih kecil kala itu. Seiring beranjaknya waktu, Incerijah dilamar oleh seorang pria yang berprofesi sebagai TNI AD. Pernikahan pun terlaksana sesuai prosesi adat setempat. Dari perkawinan campuran Aceh dan bugis itu, dikarunia seorang anak perempuan yang diberi nama Nur’aini, pada tahun 1956.

Hanya berselang beberapa bulan sejak kelahiran anak pertamanya, Incerijah harus mengikuti suaminya yang diperintahkan kembali ke Aceh. Sebagai seorang isteri prajurit tiada pilihan lain baginya. Linangan air mata mewarnai kepergiannya menuju negeri orang (Aceh-red) sebagai bukti pengabdiannya kepada suami yang sedang melaksanakan tugas negara.

Keberangkatan mengunakan kapal laut peninggalan penjajah Belanda yang bernama “Wengafu” memakan waktu kurang lebih satu bulan berlayar mengarungi samudra luas. Dari Palu singgah di Makasar, kemudian berlayar lagi sampai akhirnya tiba di Surabaya. Sejenak berlabuh, kapal kembali bergerak menuju Tanjung Periok Jakarta. “Di Jakarta kami bermalam sebelum kembali berlayar menuju Belawan dan akhirnya tiba di Ulee Lhee Banda Aceh,” kenangnya yang mengakui bahwa waktu itu tak mengetahui dimana ia berada.

Sampai di Banda Aceh, mereka di tempatkan di asrama Peuniti selama beberapa bulan sebelum dikembalikan ke daerah asal sang prajurit itu masing-masing. “Waktu itu saya tak tahu bahasa Aceh, hanya bisa berbicara dengan bahasa melayu (Indonesia-red). Dan sampai sekarang tak bisa mengungkapkan percakapan dalam bahasa Aceh walau mengerti apa yang dibicarakan orang,” tutur nenek ini.

Dari Banda Aceh, suaminya kemudian di pindahkan untuk melakukan pengamanan di perkebunan di daerah Langsa. Awalnya di tempatkan di Kebun Lama, kemudian pindah lagi ke Bukit Keranji Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang (kala masuk wilayah kewedanan Kualasimpang) yang masa itu masih dalam wilayah Aceh Timur. Saat di sinilah suamianya mengalami sakit berat yang harus dirawat di rumah sakit Peureulak. “Suami saya memang orang Peureulak dan waktu ia sakit minta dirawat di sana sampai akhirnya mengembuskan nafas terakhir.

Semenjak meniggalnya suami, Incerijah harus melanjutkan hidup di negeri orang. Berbekal kemauan dan niat untuk membesarkan anak semata wayangnya, ia rela menjadi buruh tani, mencuci pakaian orang dan berternak untuk memberi nafkah buah hatinya itu. “Setelah suami meninggal, saya bekerja apa saja untuk memberikan makan anak saya. Kami menumpang di rumah warga, sampai ada yang berbaik hati memberikan izin tinggal di rumahnya,” ujar Incerijah sambil berlingan air mata.

Anak semata wayangnya itu hanya mampu di sekolahkannya sampai kelas lima sekolah dasar. Setelah itu, ia tak mampu lagi menyekolahkan anaknya karena keterbatasan biaya. Keinginannya kembali ke kampung halaman memang begitu besar. Namun apa daya, ia kini berada jauh dari sanak-keluarganya hingga hasrat itu tinggal kenangan saja.

Ketika disinggung tentang uang pensiunan suaminya, Incerijah mengatakan, tak pernah merasakan uang itu. Menurutnya, saat suaminya meninggal dunia tak ada satu surat pun yang dia miliki, semua berkas suaminya raib entah kemana. Ia juga tak tahu bagaimana caranya untuk mengurus berkas pensiun. Akhirnya, kepasrahan yang ada pada dirinya. Sampai kini, diusianya yang renta tak ada apapun yang dirasakannya atas jerih payahnya sebagai seorang isteri prajurit.

“Saya bodoh nak, tak tahu bagaimana itu pensiun atau apalah. Makanya sampai sekarang tidak ada apa-apa. Kalau ada uang pensiun itu pasti saya sudah pulang ke kampung, rindu kali rasanya sama saudara, bapak-mamak saya pasti sudah lama meninggal. Karena tidak pernah tahu kabar berita mereka semua,” tutur wanita renta ini.


| Alam

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)