Sepenggal Cerita Politik Aceh di Warung Kopi

Samudra NewsLangsa – Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah baik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota pada 15 Februari 2017, menyedot perhatian banyak pihak. Tidak hanya kalangan elit politik semata, rakyat jelata ikut andil dalam menakar kandidat mana yang memiliki kans terpilih sebagai pemimpin ‘Serambi Mekkah’ lima tahun ke depan.
 
Pagi tadi, Kamis (1/12/2016), ketika rinai hujan membasahi bumi, awak media berkesempatan mampir di sebuah warung kopi di seputaran Jl A Yani Kota Langsa. Walau hujan menguyur kota jasa—sebutan Langsa—tapi antusias warga untuk menikmati secangkir kopi tetap tinggi.
 
Dari sekian banyak kursi dan meja yanag tersedia penuh disesaki pengunjung. Gumpalan asap rokok membumbung, membuat suasana kian marak. Sesayup, dari meja sebelah terdengar celoteh empat orang pria paruh baya memperbincangkan ikhwal Pilkada, khususnya siapa sosok gubernur Aceh masa depan.
 
“Kita ini disodorkan banyak pilihan calon gubernur. Ada enam calon, hanya Apa Karya—sapaan Zakaria Saman—yang belum pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Aceh. Sisanya lima pasangan lain pernah menjabat orang nomor satu dan dua di negeri ini,” celoteh pria tambun berkumis tipis di pojok meja yang kemudian diketahui bernama Rusli.
 
Menurutnya, Irwandi Yusuf pernah menjabat gubernur, Tarmizi Karim juga pernah pelaksana tugas medio 2012. Abdullah Puteh apa lagi, saat jadi gubernur dirinya tersandung korupsi. Zaini Abdullah petahana, sama halnya Muzakir manaf yang pecah kongsi dengan Abu Doto—sapaan Zaini—sebagai wakil gubernur dan kini mencalonkan diri berpasangan dengan TA Khalid.
 
“Hanya Zakaria Saman yang belum pernah pimpin Aceh. Kali ini, cocok kita beri kesempatan agar dia jadi gubernur, kita lihat apa programnya, bagaimana dia saat memimpin, apakah sama dengan pendahulunya,” sebut Rusli kepada tiga sohibnya sambil meneguk kopi perlahan.
 
“Kalau saya tetap Mualem—sapaan Muzakir Manaf—karena dia akan memperjuangkan Aceh masa depan. Aceh akan aman bila dipimpin mualem,” timpal Bustami yang berpostur tinggi besar, memberi argumentasi kepada Rusli dan berusaha mengajak kedua rekan lainnya setuju atas pandangannya.
 
Kalau Mualem, lanjut Bustami, praktis kehidupan masyarakat Aceh lebih aman ketimbang beberapa waktu lalu. Karena, Mualem pimpinan KPA dan PA. Tentu tidak akan ada huru-hara di Aceh. Tapi bila Mualem tak terpilih, bisa jadi Aceh kembali bergejolak. Aksi kriminalitas bisa saja terjadi dimana saja.
 
“Agar hidup aman dan mudah cari rizki, apa salahnya kita pilih Mualem. Dia cocok untuk pimpin negeri indatu kita lima tahun ke depan dengan pengalamannya sebagai wakil gubernur selama ini,” urai Bustami berapi-api.
Mendengar penjelasan Bustami. Abdullah yang sedari tadi berkutat dengan smartphone miliknya, kini angkat bicara. “Hai...memangnya Mualem bisa apa? Aceh butuh pemimpin cerdas dan religius. Karena Aceh harus maju kedepan nantinya,” sergah Abdullah.
 
Dalam pandangan Abdullah, sosok cerdas dan riligius hanya ada pada diri Tarmizi A Karim yang berpasangan dengan Machsalamina Ali. Karena, Tarmizi seorang birokrat, ahli tafsir dan gelar akademiknya telah Doktoral (Strata 3). Lain itu, sejumlah jabatan penting pernah diemabannya seperti bupati Aceh Utara, Plt Gubernur dibeberapa provinsi termasuk Aceh dan salah satu Dirjen di Kementerian Dalam Negeri.
 
“Pak Tarmizi lebih berpeluang. Saya dukung beliau walau bukan termasuk tim susksesnya. Beliau orang cerdas, berpengalaman, insya Allah Aceh maju,” pungkas Abdullah berargumen.
 
Tak ingin kalah dari tiga temannya, giliran Hanafiah yang berkomentar. “Kita duduk berempat, kayaknya semua beda pilihan. Saya menjagokan Irwandi Yusuf, karena terbukti saat jadi gubernur periode lalu, dia mampu sejahterakan rakyat. Programnya bagus seperti jaminan kesehatan dan beasiswa sehingga kita tidak repot berobat cukup tunjukan kartu keluarga dan KTP saja sudah gratis dan ini diambil sama Dokto saat dia memimpin Cuma rubah nama saja,” jelas Hanafiah sambil melirik ke tiga temannya.
 
Jangan lagi kita ditipu, sambung dia, untuk pilih pemimpin yang tidak jelas dan tidak paham kondisi Aceh. Kalau Irwandi memang beda dan punya terobosan membangun daerah dan sejahterakan rakyat. Eks kombatan dapat banyak bantuan pemerintah, bahkan Partai Aceh dulu dibentuknya walau dia kemudian tidak lagi di partai tersebut.
 
“Pilih saja Irwandi-Nova, duet ini bawa kesejahteraan Aceh, yakinlah,” cetusnya mengajak teman sejawatnya agar mau memilih Irwandi pada hari pemungutan suara nanti.
 
Inilah fenomena perpolitikan Aceh yang terekam dari perbincangan warga Kota Langsa di salah satu warung kopi. Tampak bahwa ada tiga kekuatan besar yang berpeluang memimpin Aceh dengan segala program yang ditawarkan. Akan tetapi semua kembali pada masyarakat dalam menentukan pilihannya pada 15 Februari 2017 nanti. ***