== DEDI SUYATNO ==
(Ketua Umum LDK Assalam Universitas
KRISIS PENDIDIKAN yang dihadapi umat manusia, termasuk di Indonesia, sudah sampai pada taraf yang begitu mengkhawatirkan. Kita lihat saja kasus di Indonesia. Selain soal anggaran yang selalu saja setiap waktu menjadi perbincangan hangat, sesungguhnya krisis terjadi pada tubuh pendidikannya itu sendiri. Dari sisi pembiayaan pendidikan, pendidikan di Indonesia sedang sampai pada titik yang begitu mengkhawatirkan. UU BHP yang beberapa waktu lalu disahkan diprediksi akan semakinn melegitimasi pendidikan Indonesia yang sudah semakin berhaluan neoliberal dan diselenggarakan sebagai pasar.
Gembar-gembor mengenai pendidikan murah dan pendidikan gratis di televise kelihatannya memang hanya sekedar iklan narsis pemerintah. Padahal, di lapangan atas nama apapun tetap saja banyak sekolah yang berlomba-lomba memeras muridnya. Apalagi kalau sekolah sudah berlabel: terpadu, unggulan, standar nasional, standar internasional dan semisalnya. Ada-ada saja alasan sekolah untuk menarik uang dari kantong orang tua murid. Akhirnya, sekolah tidak lebih hanya berperan sebagai lembaga bimbingan belajar yang hubungannya dengan stake holder (murid dan orang tua) dilandaskan pada hubungan transaksional.
Kalau sekolah sudah memposisikan diri sebagai “perusahaan” yang tengah bertransaksi dengan konsumennya (orang tua dan siswa), maka hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada lagi komitmen moral dalam proses pendidikan. Yang ada orang tua sudah meniatkan hal-hal yang materialistis saat memasukkan anaknya ke sekolah, guru pun sudah tidak memikirkan hal lain selain uang. Akibatnya bisa dibayangkan: sekolah berubah menjadi pasar.
Efek berikutnya bisa segera ditebak. Selain sekolah menjadi semakin mahal dari sisi mutu lulusan sangat mengkhawatirkan. Memang banyak sekolah yang kelihatannya bisa melahirkan manusia-manusia berotak cerdas. Namun sangat sulit untuk mengatakan dengan pasti bahwa sekolah-sekolah ini akan mencetak manusia-manusia bermoral. Kenyataannya, korupsi di negeri ini semakin menggejala. Jelas ini dilakukan oleh mereka yang bersekolah. Bahkan mungkin sampai jenjang persekolahan paling tinggi.
Cerita pilu lain soal kegagalan sekolah adalah fenomena tawuran, narkoba, dan seks bebas yang dilakukan siswa-siswa sekolah yang kian hari kian meningkat jumlahnya. Sekolah sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk membentuk karakter dan watak murid untuk menjadi tidak seperti itu. Kalaupun ada murid yang terhindar lebih banyak disebabkan faktor lain di luar persekolahan dan proses pendidikan. Sekolah memang bukan satu-satunya yang berkontribusi, namun proses transmisi ilmu pengetahuan di sekolah tidak banyak memberikan kontribusi penting dalam pembentukan karakter baik pada murid di sekolah. Bahkan, tidak jarang anak-anak justru semakin menjadi-jadi kenakalannya setelah mereka masuk dan bersekolah di sekolah-sekolah tertentu.
Sebetulnya, kalau kita bongkar sampai ke akarnya, sekolah-sekolah yang diselenggarakan di negeri ini sudah salah sejak akarnya, yaitu soal konsep dasar dan falsafah pendidikannya. Sekolah-sekolah di negeri ini, sekalipun telah memiliki aturan perundang-undangan yang merancang pendidikan sejak basis pemikiran dasarnya sampai masalah-masalah pelaksanaan teknisnya, yaitu UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan peraturan-peraturan turunannya, namun kelihatannya masih belum mencerminkan falsafah dan konsep pendidikan yang benar dan jelas. Walaupun dari sisi misi besar pendidikannya sudah bisa dibenarkan, namun turunan teknisnya justru tidak mencerminkan misi besar itu.
Dalam UU Sisdiknas Bab 1 Pasal 1 disebutkan :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan begara.”
Bagian ini memperlihatkan tujuan dan sekaligus falsafah dari pendidikan yang harus diselenggarakan oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Tidak ada yang bermasalah secara esensial kelihatannya.
Namun, praktik di lapangan tidka terlihat jelas perwujudan dari tujuan yang baik itu. Praktik-praktik pendidikan tidak memperlihatkan pendulum kea rah sana. Bukti yang paling kasat mata adalah kurikulum dan proses pembelajaran yang dipraktikkan di berbagai sekolah. Kalau memang pendidikan di negeri ini ingin mewujudkan pribadi yang “memiliki kekuatan spiritual, beragama, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, berakhlak mulia, cerdas, dan terampil”, apakah kurikulum pendidikan yang dirancang sudah memadai? Dari sisi struktur pelajaran saja sama sekali tidak menunjukkan itu. Pelajaran agama hanya diberi porsi sangat rendah. Bagaimana mungkin dengan pengajaran agama yang hanya 2 jam per minggu dapat mengajarkan agama dengan baik? Apalagi bercita-cita mewujudkan pribadi yang beragama dan berakhlak mulia.
Baru dilihat dari jumlah jam pelajaran saja disangsikan apakah kurikulum di sekolah-sekolah yang ada saat ini mampu mewadahi tujuan yang begitu luhur. Apalagi kalau kurikulum yang dijalankan dibedah sampai ke akar epistemologinya. Akan segera semakin nyata ditemukan ketidakmungkinan kurikulum itu mengantarkan peserta didik sesuai dengan tujuan Sisdiknas di atas. Buktinya telah nyata di hadapan mata: secara moral kualitas keluaran pendidikan di negeri ini tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang diharapkan! Kalaupun cerdas cenderung merusak. Kecerdasannya tidak mampu menemukan esensi kesejatian dirinya sehingga lahir pribadi-pribadi yang terpecah (split personality).
Kalau ditelaah lebih mendalam, memang kurikulum yang dikembangkan sebagai penjabaran dari misi sistem pendidikan nasional memperlihatkan ketidaksesuaian dengan misi besar sehingga hasilnya pun jauh dari apa yang diinginkan. Memang ada muatan agama yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan seperti diamantkan UU Sisdiknas pasal 37. Namun, kelihatannya keberadaan agama di sana tidak pernah memiliki kejelasan hubungan dengan pelajaran lain yang wajib dikembangkan seperti pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.[1] Ketidakjelasan ini semakin kelihatan ketika Peraturan Menteri mengenai Standar Isi[2], Standar Kompetensi Lulusan[3] dan Standar Proses[4] pendidikan diterbitkan. Di mana posisi pendidikan agama semakin terlihat jelas. Agama bukan diletakkan sebagai ruh dari semua mata pelajaran yang ada. Agama memiliki ruang tersendiri, sementara pelajaran lain berada di tempat yang lain lagi. Keterpisahan ini semakin menegaskan ada paradigm keliru yang melandasi struktur kurikulum dan proses penyelenggaraannya dalam sistem pendidikan nasional di negeri ini. Kekeliruan ini berakibat fatal, yaitu krisis dan kegagalan pendidikan seperti yang kita saksikan hari ini. Berangkat dari situasi ini, tulisan ini akan mencoba membongkat paradigm keliru di balik pendidikan di negeri ini dan apa yang mesti dubah secara fundamental berdasarkan padangan hidup Islam (Islamic worldview).
______________________________________
[1] UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab X Pasal 37
[2] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
[3] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
[4] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Sandar Proses