Mengapa Syariat Islam Aceh Tumpul ke Atas?

Kritikan terhadap ketimpangan pelaksanaan syariat Islam di Aceh datang dari pemimpin nanggroe. Benarkah Qanun Jinayah satu-satunya solusi?

Tak biasanya Gubernur Zaini Abdullah memanggil para pejabat ke kediaman resminya di meuligoe gubernur pada hari Minggu. Namun, Minggu pekan lalu, Gubernur Zaini mengumpulkan sejumlah Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Hadir juga Wakil Gubernur Muzakir Manaf.

Pokok bahasannya cukup krusial: membahas pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Itu sebabnya, hadir juga para kepala instansi terkait dan perwakilan ulama. Padahal, sepekan sebelumnya, pada 10 Desember 2012 baru saja berlangsung rapat koordinasi pelaksanaan syariat Islam yang dihadiri sejumlah instansi dari seluruh Aceh.

Rupanya, dalam pertemuan itu terungkap, Gubernur Zaini resah melihat implementasi syariat Islam di Aceh saat ini yang dinilainya belum menyentuh rasa keadilan. Selain itu, dibahas juga penegakan syariat yang belum merata di seluruh Aceh. Gubernur juga menyinggung tentang tindakan pencambukan terhadap seorang perempuan di Aceh Barat.

"Pemberlakuan syariat Islam harus adil. Jangan orang kecil mencuri satu perak dicambuk, sedangkan pejabat yang mencuri satu triliun tak dihukum. Ini menimbulkan persepsi negatif," kata Doto Zaini.

Pendapat tak kalah garang juga datang dari Wakil Gubernur Muzakir Manaf. Kata pria yang biasa disapa Mualem ini, hukum syariat Islam di Aceh masih tumpul ke atas, alias belum menyentuh para pelaksana atau mengambil kebijakan. “Saat ini penerapan hukum syariat masih untuk masyarakat menengah ke bawah. Ini harus diubah, harus diterapkan secara menyeluruh,” kata Mualem.

Sebagai contoh, kata Mualem, petugas ternyata belum berani mengeksekusi pelanggar syariat dari kalangan penegak hukum. "Ini namanya pagar makan tanaman. Ke depan harus diubah," ujarnya.

***

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh dimulai pada 2001 dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darusalam. Dalam undang-undang itu disebutkan, dengan berlakunya otonomi khusus, Aceh punya kewenangan melaksanakan syariat secara kafah.

Pemberlakuan syariat Islam tak terlepas dari kondisi politik saat itu yang sedang dilanda konflik bersenjata. Dari kacamata Pemerintah Pusat, pemberlakuan syariat Islam diharapkan dapat meredam suara-suara yang menuntut Aceh berpisah dari Indonesia. Landasan historisnya, Aceh pernah menuntut pemberlakuan syariat Islam sehingga melahirkan perjuangan DI/TII di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh.

Dua tahun sesudah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 diberlakukan, pada 4 Maret 2003 dibentuk Mahkamah Syariah sebagai lembaga yang bertugas memutuskan perkara-perkara pelanggaran syariat.

Aceh yang ketika itu dipimpin Gubernur Abdullah Puteh bergegas menyiapkan aturan main tentang pelaksanaan syariat Islam. Produk hukum syariah pertama yang dilahirkan adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat bidang aqidah, ibadah, dan syariat Islam. Setahun kemudian, muncul Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras).

Lalu, berturut-turut lahir Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang larangan maisir (perjudian), dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum). Para pelanggar qanun ini dikenakan hukuman cambuk di depan umum.

Hanya saja, dalam pelaksanaannya, syariat Islam seperti berada di persimpangan jalan. Pembentukan Polisi Syariat atau Wilayatul Hisbah yang bertugas sebagai pengawal Qanun Syariat tidak dapat menindak pelanggar qanun dari kalangan TNI dan Polri.

Selain itu, belum pernah terdengar seorang pejabat yang melanggar Qanun Syariat dihukum cambuk. Bahkan, seorang anggota dewan Lhokseumawe hingga kini belum menjalani hukuman cambuk meskipun sudah ada putusan Mahkamah Syariah setempat. TZA dinyatakan bersalah dalam kasus berbuat mesum dengan perempuan yang bukan istrinya di kantor salah satu partai politik pada 11 September 2005.

Setelah melalui persidangan 14 kali, pada 9 Mei 2006 Mahkamah Syariah memutuskan terdakwa satu, TZA dan terdakwa dua, CMR terbukti melakukan khalwat. Sehingga, keduanya dihukum lima kali cambuk di muka umum. Namun, 6 tahun berlalu, mereka tak kunjung dieksekusi.

Sejauh ini, tugas polisi syariat yang paling menonjol adalah melakukan razia busana muslim, dan mengejar orang-orang pacaran yang dikategorikan sebagai pelaku mesum. Selebihnya, belum ada perkembangan yang menonjol.

Akhir Mei 2005, eksekusi cambuk pertama digelar di Bireuen. Mahkamah Syariah Bireuen menghukum 15 pria lantaran melanggar Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi). Mereka dicambuk di halaman masjid, di hadapan ribuan masyarakat. Hadir di sana Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Azwar Abubakar dan Bupati Bireuen saat itu, Mustafa Geulanggang.

Zakaria, salah satu pria yang dicambuk, ketika itu sempat mengajukan protes saat diwawancara wartawan. "Saya malu ditonton orang, anak-cucu dan kerabat, karena ini kejadian yang pertama di Aceh, bahkan di Indonesia," ujarnya. Zakaria juga mempertanyakan hukuman cambuk yang hanya ditimpakan kepada rakyat kecil. "Pejabat yang korupsi tidak tersentuh hukuman ini," ujarnya.

Ketika itu, di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang membuat aturan main syariat Islam pun sebenarnya masih ada pertentangan soal hukuman cambuk. Teungku Amir Hamzah yang ketika itu duduk sebagai Wakil Ketua Komisi E Bidang Syariat Islam DPRD Aceh, menilai hukuman cambuk hanya sebagian kecil hukum Islam.

Padahal, hukum hudud masih punya tiga bagian: qisash bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, dan hukum rajam bagi penzina. "Yang diambil sekarang justru rantingnya, sedangkan cabangnya tak ada. Ini sama dengan mempermainkan hukum Tuhan," ujarnya seperti dikutip majalah Tempo.

Menurut Amir, Pemda Aceh saat itu hanya mengambil sebagian hukum pidana Islam. "Yang tidak penting diambil, yang penting tidak dilaksanakan," katanya. Jika hendak menjalankan syariat Islam, ujar Amir, pemerintah seharusnya juga membuat qanun tentang qisash, hukuman rajam, dan potong tangan. "Kalau tidak, penjudi dicambuk, tapi koruptor dan pembunuh bebas berkeliaran."

Seperti kata Zakaria dan Amir Hamzah, hingga akhir 2012, para koruptor belum tersentuh cambuk.

***

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Muhammad Nas tak menampik lembaganya masih menghadapi sejumlah kendala dalam menjalankan qanun syariat Islam. Namun, ia menolak disebut ada diskriminasi dalam penegakan qanun syariat Islam.

“Itu terjadi lantaran qanun yang ada selama ini masih harus disempurnakan,” ujar Muhammad ketika ditemui di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu.

Ia mencontohkan, Mahkamah Syariah tidak punya kewenangan menahan para pelanggar syariat Islam meskipun sudah divonis bersalah. “Ketika hendak dieksekusi, bisa jadi orangnya tidak datang. Ini salah satu kendala yang kita hadapi,” ujarnya.

Sebagai solusi, Muhammad berharap Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Qanun Acara Jinayah segera dibahas untuk disahkan. Jika rancangan qanun ini diberlakukan, kata Muhammad, qanun lainnya tentang hukum syariat Islam tidak berlaku lagi. “Rancangan Qanun Jinayah ini merupakan penyempurnaan dari qanun-qanun sebelumnya.

Apa saja yang diatur dalam Qanun Jinayah? Sayangnya, Muhammad tak ingat persis. Ia hanya memastikan, hukum rajam bagi pelaku perzinaan yang sebelumnya sempat diusulkan, diputuskan untuk dihapus. “Kita berlakukan secara bertahap, tidak bisa sekaligus,” ujarnya.

Namun, tak semua sependapat Qanun Jinayah adalah solusi. Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat atau JMSPS menilai banyak perkara lain yang harus mendapat prioritas untuk diatur dengan hukum syariat, seperti lembaga-lembaga pemerintahan dan perbankan di Aceh.

“Sebelum mengurus pidana, benahi dulu pengaturan syariat untuk pemerintahan, perbankan, dan pendidikan,” ujar Affan Ramli, juru bicara JMSPS seperti dikutip ATJEHPOSTcom, beberapa waktu lalu.

Menurut Affan, lembaga-lembaga pemerintahan di Aceh, mulai dari tingkat provinsi sampai gampông harus diperkuat dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan panduan hukum-hukum politik Islam. Selanjutnya, tambah Affan, lembaga-lembaga keuangan dan perbankan harus diatur dengan hukum-hukum ekonomi Islam.

“Juga lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun sudah ada qanun yang mewajibkan pendidikan Aceh di semua tingkatannya harus diselenggarakan secara islami, tetapi dalam praktiknya pendidikan Aceh masih dualistik. Ada pendidikan umum dan sekuler dan ada pendidikan agama. Tentu saja ini bukan sistem pendidikan islami,” tutur penulis buku Merajam Dalil Syariat.

Menurut Affan, Qanun Pidana (Jinayah) baru akan berjalan baik jika lembaga-lembaga politik dan pemerintahan, lembaga keuangan dan perbankan, serta lembaga pendidikan sudah diselenggarakan berbasis syariat atau sesuai dengan hukum-hukum dan pemikiran Islam terlebih dahulu.

Itu sebabnya, Affan menyarankan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tak perlu terburu-buru memberlakukan hukum pidana Islam.

“Hal-hal terkait moral masyarakat biar diurus oleh dayah-dayah bersama petua-petua adat yang mengelola pemerintah mukim dan gampong,” kata Affan. [ap]