Perekrutan Zhalim

0
Samudra News
Oleh : Siti Farisya

SEPERTINYA sudah membudaya bagi pejabat public melakukan perekrutan zhalim, maksudnya mendhalimi orang lain, bukan zhalimnya direkrut, karena inilah, masyarakat bertambah sinis dengan system Negara, gara-gara sifat pejabat public yang mengakarkan diri dengan kebudayaan kotor seperti ini, tanpa ingin membuat perubahan, siapa lagi agent of chage dari kebaikan kalau bukan mereka yang dipercayakan amanah.

Zalim (Arab: Ø¸Ù„Ù…, Dholim) yang arti katanya gelap yang sering disurahkan maksudnya oleh tengku di dayah adalah melanggar hak orang lain, dalam arti yang luas dari referensi lainnya, zalim dilambangkan sebagai sifat kejam, begis, tidak berkeprimanusian, suka melihat orang menderita dan sengsara, menganiaya serta tidak adil. Ya inilah maksud zalim secara literleknya.

Sebenarnya inspirasi menulis ini karena membaca berita di www.melayunews.com tentang “masyarakat ramai mendiskusikan seleksi calon panwaskab bireuen”, ini kalau lihat bukan permasalahan baru, dari jaman Belanda pun memang seperti ini negeri kita, jadi memang tidak perlu heran dengan hal semacam ini. Kalau kita ingin membedah bagaimana kezaliman yang dikategorikan “melanggar hak orang lain? Tidak adil ? segaja suka melihat menderita dengan kesengsaraan ?, bisa saja kita bedah, situasi yang sudah terjadi yang diberitakan, diluar benar tidaknya kebenaran berita tersebut, ini hanya sebagai contoh bedah kasus terbaru tentang perekrutan zalim.

Pertama, seandainya perekrutan penerimaan calon [apapun itu] dibuka untuk umum, tetapi tujuan hanya untuk melihat seberapa ramai peminatnya, atau hanya ingin melihat seberapa banyak pengangguran di Aceh. Ini benar-benar terlalu dan tidak berkeprimanusian, karena orang yang akan mengikutinya selain menghabis tenaga, pikiran tentunya juga biaya dan waktu terbuang hanya dengan harapan bisa lolos sebagai dengan kemampuan dan intelektualitas. Point pertama ini hanya implisit dari Perekrutan katanya bersifat untuk publik, padahal yang lewat sudah ada orangnya, apakah karena deal politik atau deal2 lain, baik sodara atau kedekatan emosianal lainnya.

Kedua, tentang persyaratan kelulusan, disinilah cukup banyak dimainkan teori sesat pikir [fallacy theory] oleh yang punya kuasa, misalnya kalau dalam kasus ini, persyaratan kelulusan yang tidak tertulis dipersoalkan, contoh: peserta yang lulus dan berintegritas adalah peserta yang tidak pernah ikut tes Bawaslu versi DPRK (ini kalo untuk pawaslu kabupaten) tetapi kalau BAWASLU propinsi sendiri boleh ikut tes, dan lulus didua-dua tempat, ini kalo untuk sendiri tak apa, kalau untuk orang lain diangap tidak berintegritas. Ini kan juga kemunafikan yang luar biasa bagi yang perekrut. (untuk dia is oke, untuk lain dipersoalkan). Contoh yang lainnya. Dipersoalkan masalah Etika bagi Calon pawaskab, karena sebagai ppk yang sudah menerima gaji jadi tidak boleh lagi menjadi panwaslu, jika dilihat secara bijaksana lebih parah lagi seorang pengawai negeri sipil, Akademisi yang jelas-jelas tugasnya bekerja untuk masyarakat dengan gaji yang sudah dibayar bertahun-tahun untuk melayani masyarakat dan mahasiswa sebagai bagian dari tugasnya sebagai orang yang sudah digaji Negara, tetapi masih juga mencari peluang lain, itu kalau untuk sendiri beretika, tetapi untuk orang lain tidak etik-lah, gak bisa dibenerkan anggota PPK jadi panwaskab. Etika dari mana yang dianut?.

Ini dari segi etika yang dibahas, nah kalau dari segi peraturan yang sudah diatur, baik Pengawai negeri sipil, akademisi yang sudah dibayar Negara apakah boleh mencari peluang mengembangkan karir, jawabnya boleh dan sudah diatur sebagai peraturan, boleh asalkan ada izin dari atasan. Terus kalau anggota PPK apakah boleh mengembangkan karir dan pengalaman?, apakah sudah diatur dalam peraturan? Jawabannya 100% belum diatur sama sekali, soalnya belum kita temukan diperaturannya sebagai syarat-syarat calon panwas. Nah apalagi ini  yang sedang di lakon kan perekrut, dengan beralibi dengan sesuatu yang tidak tertulis ?

Makanya disinikan terlihat kenapa dikatakan perekrutan zalim, karena disini dinilai tidak berdiri ditengah sesuai dengan yang diamanahkan Tuhan untuk melihat yang terbaik, bukan terbaik karena kenalan, karena saudara, karena deal tertentu dan tekanan pihak lain, tetapi  benar-benar diberikan peluang ini sesuai dengan hasil ujian nya, supaya adil bagi seluruh pengikut ujian yang telah berjuang mati-matian dengan harapan mendapatkan berkah Allah swt.

Solusinya, untuk menghindari perekrutan Zhoolim ya penguasa, kembalilah keprofessional, jangan mainkan titipan kosong, kalau memang kebetulan ok, bagus ya dipakai, diluluskan, jangan sampai ditanyakan tentang ke daerahan saja berapa jumlah kecamatan dan desa dalam kabupaten bireuen saja tidak tau, tetap aja diloloskan, ya karena memang titipan ya tetap lolos, benar-benar titipan kosong tidak melihat kapasitas dalam pengalaman, dan yang dikategorikan tidak beretika sebenarnya sesama kandidat tidak boleh saling memainkan “politik pembusukan” untuk kandidat lainnya, ini malah karena hanya titipan seorang direktur Stai, walau jelas tidak etik dengan memainkan “politik pembusukan” terhadap sesama kandidat pun di loloskan. Sebagaimana dipahami masyarakat awam, tahap menerima tanggapan masyarakat, ya masyarakat yang memberi masukan. Bukan malah jeruk makan jeruk.Wallahuaklambissawab[]

Penulis adalah seorang pengamat 
media online yang tinggal di Bireuen
 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)