Samudra News
Oleh : Siti Farisya
SEPERTINYA sudah
membudaya bagi pejabat public melakukan perekrutan zhalim, maksudnya mendhalimi
orang lain, bukan zhalimnya direkrut, karena inilah, masyarakat
bertambah sinis dengan system Negara, gara-gara sifat pejabat public yang
mengakarkan diri dengan kebudayaan kotor seperti ini, tanpa ingin membuat
perubahan, siapa lagi agent of chage dari kebaikan kalau bukan mereka yang
dipercayakan amanah.
Zalim (Arab: ظلم, Dholim) yang arti katanya gelap yang sering disurahkan
maksudnya oleh tengku di dayah adalah melanggar hak orang lain, dalam arti yang
luas dari referensi lainnya, zalim dilambangkan sebagai sifat kejam, begis,
tidak berkeprimanusian, suka melihat orang menderita dan sengsara, menganiaya serta
tidak adil. Ya inilah maksud zalim secara literleknya.
Sebenarnya inspirasi menulis ini karena membaca
berita di www.melayunews.com tentang “masyarakat
ramai mendiskusikan seleksi calon panwaskab bireuen”, ini kalau lihat bukan
permasalahan baru, dari jaman Belanda pun memang seperti ini negeri kita, jadi
memang tidak perlu heran dengan hal semacam ini. Kalau kita ingin membedah
bagaimana kezaliman yang dikategorikan “melanggar hak orang lain? Tidak adil ?
segaja suka melihat menderita dengan kesengsaraan ?, bisa saja kita bedah,
situasi yang sudah terjadi yang diberitakan, diluar benar tidaknya kebenaran
berita tersebut, ini hanya sebagai contoh bedah kasus terbaru tentang
perekrutan zalim.
Pertama, seandainya perekrutan penerimaan
calon [apapun itu] dibuka untuk umum, tetapi tujuan hanya untuk melihat
seberapa ramai peminatnya, atau hanya ingin melihat seberapa banyak
pengangguran di Aceh. Ini benar-benar terlalu dan tidak berkeprimanusian,
karena orang yang akan mengikutinya selain menghabis tenaga, pikiran tentunya
juga biaya dan waktu terbuang hanya dengan harapan bisa lolos sebagai dengan
kemampuan dan intelektualitas. Point pertama ini hanya implisit dari Perekrutan
katanya bersifat untuk publik, padahal yang lewat sudah ada orangnya, apakah
karena deal politik atau deal2 lain, baik sodara atau kedekatan emosianal lainnya.
Kedua, tentang persyaratan kelulusan,
disinilah cukup banyak dimainkan teori sesat pikir [fallacy theory] oleh yang
punya kuasa, misalnya kalau dalam kasus ini, persyaratan kelulusan yang tidak
tertulis dipersoalkan, contoh: peserta yang lulus dan berintegritas adalah
peserta yang tidak pernah ikut tes Bawaslu versi DPRK (ini kalo untuk pawaslu
kabupaten) tetapi kalau BAWASLU propinsi sendiri boleh ikut tes, dan lulus
didua-dua tempat, ini kalo untuk sendiri tak apa, kalau untuk orang lain
diangap tidak berintegritas. Ini kan juga kemunafikan yang luar biasa bagi yang
perekrut. (untuk dia is oke, untuk lain dipersoalkan). Contoh yang lainnya. Dipersoalkan
masalah Etika bagi Calon pawaskab, karena sebagai ppk yang sudah menerima gaji
jadi tidak boleh lagi menjadi panwaslu, jika dilihat secara bijaksana lebih
parah lagi seorang pengawai negeri sipil, Akademisi yang jelas-jelas tugasnya
bekerja untuk masyarakat dengan gaji yang sudah dibayar bertahun-tahun untuk
melayani masyarakat dan mahasiswa sebagai bagian dari tugasnya sebagai orang
yang sudah digaji Negara, tetapi masih juga mencari peluang lain, itu kalau
untuk sendiri beretika, tetapi untuk orang lain tidak etik-lah, gak bisa
dibenerkan anggota PPK jadi panwaskab. Etika dari mana yang dianut?.
Ini dari segi etika yang dibahas, nah kalau
dari segi peraturan yang sudah diatur, baik Pengawai negeri sipil, akademisi yang
sudah dibayar Negara apakah boleh mencari peluang mengembangkan karir, jawabnya
boleh dan sudah diatur sebagai peraturan, boleh asalkan ada izin dari atasan. Terus
kalau anggota PPK apakah boleh mengembangkan karir dan pengalaman?, apakah
sudah diatur dalam peraturan? Jawabannya 100% belum diatur sama sekali, soalnya
belum kita temukan diperaturannya sebagai syarat-syarat calon panwas. Nah apalagi
ini yang sedang di lakon kan perekrut,
dengan beralibi dengan sesuatu yang tidak tertulis ?
Makanya disinikan terlihat kenapa dikatakan
perekrutan zalim, karena disini dinilai tidak berdiri ditengah sesuai dengan
yang diamanahkan Tuhan untuk melihat yang terbaik, bukan terbaik karena
kenalan, karena saudara, karena deal tertentu dan tekanan pihak lain,
tetapi benar-benar diberikan peluang ini
sesuai dengan hasil ujian nya, supaya adil bagi seluruh pengikut ujian yang
telah berjuang mati-matian dengan harapan mendapatkan berkah Allah swt.
Solusinya, untuk menghindari perekrutan
Zhoolim ya penguasa, kembalilah keprofessional, jangan mainkan titipan kosong,
kalau memang kebetulan ok, bagus ya dipakai, diluluskan, jangan sampai
ditanyakan tentang ke daerahan saja berapa jumlah kecamatan dan desa dalam kabupaten
bireuen saja tidak tau, tetap aja diloloskan, ya karena memang titipan ya tetap
lolos, benar-benar titipan kosong tidak melihat kapasitas dalam pengalaman, dan
yang dikategorikan tidak beretika sebenarnya sesama kandidat tidak boleh saling
memainkan “politik pembusukan” untuk kandidat lainnya, ini malah karena hanya
titipan seorang direktur Stai, walau jelas tidak etik dengan memainkan “politik
pembusukan” terhadap sesama kandidat pun di loloskan. Sebagaimana dipahami
masyarakat awam, tahap menerima tanggapan masyarakat, ya masyarakat yang
memberi masukan. Bukan malah jeruk makan jeruk.Wallahuaklambissawab[]
Penulis adalah seorang pengamat
media online yang tinggal di Bireuen