Pasca Banjir Bandang, Kerusakan Hutan Tamiang Bertambah 15 Persen [sumber Media Swara Indonesia.com] |
samudra-news.com | Banda Aceh - Penggunaan sumberdaya alam di Aceh pada kawasan
hutan, baik itu lindung, Area Penggunaan Lain, maupun hutan produksi
mencapai luas 1.067.282,19 ha± dari total luas 3,5 juta
ha yang di fungsikan menjadi area pertambangan dan perkebunan. Demikian
diungkapkan Mirna Asnur Kepala devisi Advokasi WALHI Aceh dalam sebuah
pers rilis yang dilayangkan ke redaksi samudra-news.com.
Lebih
lanjut dikatakan dengan kondisi tersebut dapat dipastikan akan berdampak
buruk bagi keberlanjutan penyelamatan sumber-sumber penghidupan mahkluk
hidup yang ada di Aceh, terlebih dengan adanya perluasan
aktifitas manusia didalam kawasan hutan Aceh akan mengalami perubahan
terhadap daya dukung lingkungan hidup saat ini maupun dimasa akan
datang. Atau lebih tepat disebut "Ekologi Aceh Pasca Damai 10 tahun
terakhir".
Fakta
menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, telah terjadi beberapa
bencana ekologi di Aceh. Bencana tersebut antara lain, pada tahun 2005,
terjadi banjir besar di Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Timur,
Bireuen, Aceh Pidie, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Lues, kekeringan
di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Pidie, Aceh Tenggara,
Aceh Selatan, Aceh Besar, hingga longsor di Aceh Tenggara dengan
total kerusakan lahan 86,951 ha sehingga sawah gagal panen, korban
evakuasi 18.812 orang, luka-luka 251 orang, 100 rumah rusak, 180 orang
hilang dan fasilitas umum rusak. Pada tahun 2006, terjadi banjir di Aceh
Selatan, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat, Banda Aceh, Pidie, Aceh
Tamiang, Aceh Selatan, Bireuen, Langsa, dan Aceh Tenggara dengan total
kerugian 84 rumah rusak, 10.000 korban yang dievakuasi dan
rusaknya 7 pusat pendidikan. Pada periode hingga 2010 terjadi konflik
satwa terparah di hutan Aceh, dengan kerugian berkurangnya populasi
orang utan dari 7.500 ekor pada 2004 hingga menjadi 6.600 ekor pada
tahun 2009. Tahun 2011 terjadi konflik satwa dimana 5 ekor gajah
mati. Tahun 2012, terjadi konflik satwa yang menyebabkan 15 ekor gajah
mati di Aceh utara, Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh
Tenggara. Tahun 2013, juga terjadi konflik satwa liar di Aceh Jaya yang
menyebabkan 23 ekor gajah mati. Pada tahun ini juga terjadi banjir di
Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Tengah, dan
Sabang yang menyebabkan 25.277 orang mengungsi. Tahun 2014 pun
tidak luput dengan bencana, dimana terjadi kekeringan di Aceh Utara dan
banjir di Aceh Besar dengan total kerugian 10.000 ha tanaman padi gagal
panen dan 200 rumah terendam.
Padahal
dalam sejarah peradaban, manusia sadar betul akan pentingnya bumi bagi
kehidupan yang di cetuskan 44 tahun lalu saat dicanangkannya Hari Bumi.
Sejarah peringatan Hari Bumi (Earth Day) diselenggarakan pertama
kali pada 22 April 1970 di Amerika Serikat. Penggagasnya adalah
Gaylord Nelson, seorang senator Amerika Serikat dari Wisconsin yang juga
pengajar lingkungan hidup. Gagasan tentang peringatan Hari Bumi mulai
disampaikan oleh Gaylord Nelson sejak tahun 1969. Saat itu Gaylord
Nelson memandang perlunya isu-isu lingkungan hidup untuk masuk dalam
kurikulum resmi perguruan tinggi. Gagasan ini kemudian mendapat dukungan
luas. Dukungan ini mencapai puncaknya pada tanggal 22 April 1970. Saat
itu 20 juta manusia turun ke jalan pada 22 April 1970 yang berdemonstrasi
dan memadati Fifth Avenue di New York untuk mengecam para
perusak bumi. Moment ini kemudian menjadi tonggak sejarah diperingatinya
sebagai Hari Bumi yang pertama kali. Tanggal 22 April juga bertepatan
dengan musim semi di Northern Hemisphere (belahan bumi utara)
sekaligus musim gugur di belahan bumi selatan. Sejak itu, pada tanggal
22 April setiap tahunnya Hari Bumi (Earth Day) diperingati.
Sejarah
mencatat, Hari Bumi merupakan dijadikan hari kampanye untuk mengajak
orang peduli terhadap lingkungan hidup yang dilakukan oleh berbagai
Organisasi lingkungan baik itu dilokal, Nasional bahkan di Internasional.
Gerakan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang
ditinggali manusia ini yaitu bumi. Hari Bumi telah menjadi sebuah
gerakan global yang mendunia hingga kini. WALHI Aceh mengusulkan tema
kegiatan "Save The Earth, Save Our Life!" Melalui
peringatan hari bumi ditahun 2014, kita wujudkan kehidupan masa depan
yang berwawasan lingkungan dan mampu menjawab tantangan perubahan"
pada hari bumi 22 April 2014, WALHI Aceh berinisiatif melakukan berbagai
upaya, diantaranya: Pemutaran Film Lingkungan di Sekolah-sekolah
bersama 120 siswa/i, Teatrikal lingkungan oleh siswa/i, dan
Praktik Simulasi Bencana sebagai langkah untuk mengurangi resiko dampak
bencana dalam rangka mendorong penyadaran akan pentingnya menjaga bumi
dari perusakan yang dilakukan oleh berbagai kegiatan yang boros
sumberdaya alam. Kegiatan ini sendiri melibatkan Partisipasi Publik 120
siswa/i perwakilan dari 4 sekolah di Kota Banda Aceh,
10 orang guru, 20 orang dari komunitas lingkungan, 3 orang dari dinas
pendidikan Kota Banda Aceh. inisiatif ini disambut baik oleh Dinas
Pendidikan dan Para Guru di Banda Aceh dan didukung yang didukung IOM.
Oleh
karena itu, sudah sewajarnya kita bertanya kepada Pemerintah Aceh,
seriuskah Pemerintah Aceh memberikan perlindungan terhadap kekayaan
hutan Aceh yang memberikan sumber mata air bagi penghidupan 4,6
juta penduduk Aceh yang membutuhkan 690.000.000 liter air setiap hari.
Bagaimana caranya sumber bisa dijamin pemerintah jika pertambangan,
perkebunan dan pembangunan ruas jalan masih saja menjadi agenda utama
dalam rencana pembangunan Aceh dalam kawasan hutan Aceh. Belum lagi kita
berbicara dalam konteks pemenuhan kebutuhan air bagi petani dalam
konteks ketahanan pangan sesuai dengan perintah UU No 18 tahun
2012 Tentang Pangan
Untuk
itu WALHI Aceh merasa perlu mengajak para pemuda/i, para ulama, Partai
Politik, tokoh masyarakat dan pihak strategis lainya mengambil peran
melakukan pengawalan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan
oleh berbagai perusahaan yang ada di Aceh, dan mendorong pemerintah
untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya alam tanpa merusak fungsi
hutan, yang dapat mendatangkan perbaikan ekonomi masyarakat
sekitar hutan, dan jauh lebih penting masyarakat sadar sebagai pihak
pertama terkenan bencana ekologi selama ini. []Red