Keracunan Budaya

0
Oleh Muhadzdzier M. Salda

DI saat pertukaran budaya dan gaya hidup menjadi begitu familiar dan dianggap suatu hal yang wajar adanya. Masyarakat kita, khususnya masyarakat Aceh sendiri telah mengalami apa yang disebut dengan degradasi budaya yang sangat akut. Ini terbukti dengan perjalanan Syariat Islam yang begitu terhambat, bahkan terkesan jalan di tempat. Apakah yang terjadi dengan masyarakat Aceh dewasa ini? Apa yang membuat kita merasa bangga memiliki adat dan budaya orang lain? Apakah ini gejala apatisme budaya dimana suatu bangsa kehilangan percaya diri dengan adat dan kebudayaannya? Mengapa kita tidak mencontoh Romawi dan Yunani atau Bangsa China dan Jepang yang begitu bangganya dengan adat-istiadat dan kebudayaan mereka.

Sehingga secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, kita merasa dekat dengan adat-istiadat dan kebudayaan mereka, walau kebudayaan tersebut tidak dapat diterima dengan akal sehat kita sebagai manusia ber-Tuhan.

Jika kita merujuk kembali kepada budaya dasar rakyat Aceh, maka akan terasa sekali kentalnya nuansa keagamaan di dalamnya. Tentu saja dalam hal ini agama yang dimaksud adalah agama Islam, yang dikarenakan hampir 98% masyarakat yang bermukim di provinsi paling barat ini beragama Islam. Selebihnya berasal dari agama yang berbeda-beda yang biasanya mereka merupakan kaum pendatang (bukan suku asli).

Jika kita menggali lebih dalam lagi latar belakang budaya dan adat-istiadat Aceh maka tidak terlepas dari megahnya salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia pada zamannya yang berada di tanah Aceh yang bernama kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh sosok yang paling terkenal sepanjang sejarah kerajaan tersebut yaitu Iskandar Muda, yang begitu memegang teguh Syariat Islam, sehingga ia mampu memakmurkan negerinya. Keadaan yang serupa juga tidak jauh berbeda dengan kerajaan Samudra Pasai yang juga menjadi salah satu kerajaan Islam yang cukup jaya pada masanya.

Memang, jika kita berbicara tentang budaya dan adat istiadat maka tidak terlepas dari pengaruh agama di mana pun ia berada. Contohnya di negara-negara Eropa yang pada tanggal 14 Februari mereka merayakan Valentine Day di mana banyak generasi muda di Nanggoe Aceh Darussalam sendiri yang banyak merayakannya, sebenarnya adalah ritual yang diadaptasi dari peristiwa di dalam agama mereka sendiri (baca: Nashrani). Kemudian kita lihat lagi di negara yang sekarang tengah dijadikan trendsetter budaya saat ini yaitu negeri “Paman Sam” Amerika Serikat yang mana setiap malam pada tanggal tertentu diperingati sebagai ‘Halloween Night’ yang juga diadaptasi dari peristiwa bangkitnya iblis dan setan-setan menuju dunia yang diyakini di dalam agama mereka juga. Sedangkan kalau kita berbicara pergaulan bebas yang juga menjadi trendsetter di kalangan dunia global pada saat ini adalah juga merupakan budaya dari negara-negara maju yang rakyatnya sudah tidak mengenal lagi adanya Tuhan (atheis) seperti yang sekarang banyak berjangkit di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, Jerman dan lain sebagainya. Padahal sudah sejak dari tahun 1980 lalu semua negara tersebut mati-matian menolak semua bentuk pergaulan bebas tersebut. Tapi apa hendak dikata, semua usaha pemerintah sia-sia hanya karena mengikuti kemauan rakyatnya yang tidak ber-Tuhan. Seperti baru-baru ini di Israel disebutkan pada berbagai media yang terbit di tanah air, tiga murid sekolah menengah umum ditangkap oleh kepolisian negara tersebut hanya karena kedapatan membuka situs di internet yang berbau pornografi. Padahal kalau mau jujur kebejatan moral apa sih yang tidak diijinkan di dalam negara seperti Israel? Bayangkan betapa takutnya sebuah bangsa seperti Israel kehilangan sumber daya manusianya hanya karena satu kata globalisasi yang konon katanya tidak dapat dibendung. Tetapi dengan mengambil pengalaman dari negara Yahudi seperti Israel mungkin kita di negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam terutama di Aceh dapat menjadikannya pelajaran berharga di dalam membendung kata globalisasi tersebut, sebelum negara kita sampai pada tahap di mana sebuah negara menuruti kemauan rakyatnya yang tidak “ber-Tuhan” seperti yang terjadi pada negara-negara maju yang telah penulis sebutkan di atas. Dan masih banyak lagi contoh-contoh di mana pemerintah mengikuti kemauan rakyatnya yang tidak “ber-Tuhan”. Salah satu di antaranya adalah demonstrasi para aktivis perempuan di kota Paris, Perancis beberapa waktu yang lalu yang juga sempat menjadikannya isu terhangat saat itu yang menuntut dilegalkannya praktik aborsi oleh para ibu hamil yang tidak menginginkan kelahiran bayinya akibat hubungan gelap. Yang kemudian menyebabkan disahkannya undang-undang yang mengatur tentang hal ini. Lain lagi di negara adidaya Amerika Serikat, di mana ratusan orang berdemonstrasi menuntut agar dibolehkannya menggunakan kondom dalam berhubungan intim dengan lawan jenis di luar nikah.

Lain kasus di luar negeri lain pula kasus di negara kita Indonesia, di mana kaum homoseksual atau yang lazim disebut gay baru-baru ini menuntut agar kaum mereka dilegalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka menuntut tidak adanya diskriminasi sosial dalam hal ini terhadap mereka yang berhubungan sesama jenis. Lagi-lagi kata-kata globalisasi mencuat, malah kali ini diperparah dengan terseretnya kata-kata Hak Azasi Manusia (HAM) di dalamnya. Bayangkan apabila di Aceh yang notabene adalah satu-satunya provinsi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diberikan keistimewaan oleh pusat dalam menjalankan Syariat Islam tidak memulai dari sekarang untuk bercermin dari negara-negara di atas termasuk Israel yang mayoritas penduduknya beragama Yahudi, maka bukan hal yang mustahil 10 atau 20 tahun ke depan, cepat atau lambat akan muncul tuntutan-tuntutan serupa di dalam masyarakat kita. Malah mungkin akan lebih parah dari itu. Kita doakan saja mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi. Tapi tidak cukup hanya sebatas doa, tapi juga harus diikuti dengan usaha yang keras dari semua pihak termasuk masyarakat itu sendiri. Karena “keracunan” itu sendiri masih dapat “diobati”.

Sesuai dengan judul di atas, “keracunan budaya”, maka kita ibaratkan saja “keracunan” budaya ini sebagai keracunan makanan atau minuman dengan disengaja atau tanpa disengaja masih dapat diobati, yaitu dengan memberikan si pasien yang keracunan ‘susu segar’ dalam dosis banyak. Karena susu dapat menetralisir racun di dalam tubuh si pasien. Maka, tugas kita generasi penerus budaya dan adat istiadat daerah Aceh yang sangat kita cintai ini untuk segera mencari “susu-susu segar” dengan dosis yang banyak untuk membendung masuknya “racun-racun” kebudayaan ke dalam tubuh daerah Serambi Mekkah ini.

Kita rindu akan munculnya Iskandar Muda dan Sri Ratu Safiatuddin yang baru, yang kelak akan memajukan kembali budaya dan adat istiadat Aceh hingga mampu bersaing dan bertahan di pusaran kebudayaan dunia. Yang menjadikannya trendsetter kebudayaan dunia masa yang akan datang. Bukan malah menjadi plagiat budaya orang lain seperti yang terjadi sekarang ini.

* Penulis adalah Ketua Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Aceh.

www.aceh.tribunnews.com
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)