Menakar Kembali Determinasi Pers Mahasiswa

Oleh: Ahmad Fahri Huseinsyah 

MAHASISWA sebagaimana didefinisikan adalah sekumpulan kaum kritis dalam sebuah sistem masyarakat. Peran mahasiswa memang selalu dibutuhkan dalam setiap lini. Sumbangsih mereka teramat besar, bahkan semenjak masa pra kemerdekaan. Mahasiswa yang menghimpun diri kemudian menjadi gerakan perlawanan baru berhaluan intelektual yang sama sekali sulit diredam meski oleh penguasa sekalipun. 

Konstelasi pers mahasiswa dari masa ke masa

Pergolakan besar hampir tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan mahasiswa di dalamnya. Pergolakan yang luar biasa oleh mahasiswa melawan rezim yang berkuasa. Kalangan pers ketika pra-kemerdekaan belum terbentuk secara legal formal, melainkan tersegmentasi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang menghimpun diri karena kesamaan tujuan. Karakteristik dasar pergerakan mahasiswa di seluruh dunia adalah kurang akur dengan penguasa. Wacana tentang kemerdekaan yang beredar di harian lokal, dahulu, menjadi kewaspadaan sendiri bagi kolonial Belanda yang takut akan bangkitnya sebuah perlawanan yang lebih besar dari aksi provokatif di media.

Memasuki Orde Baru, dekade yang selalu ditandai dalam dunia pers sebagai periode terkelam dalam sejarah pers, insan pers mengambil signifikasi peran yang sangat krusial. Dalam konteks ini, jurnalisme tetap berusaha melakukan moderasi, dan objektivitas mereka diuji di saat tampuk pemerintahan dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak segan melakukan tindakan represif. Maka, baik itu kalangan pers yang profesional maupun himpunan mahasiswa, pers sama-sama melancarkan kritik tajam.

Dengan latar belakang semangat tersebut, maka beberapa aktivis pers kampus mendirikan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), yang tersebar secara sistematis di beberapa kota besar, seperti IPMI Yogyakarta dikomandoi oleh Ashadi Siregar, juga ada IPMI Surabaya, Bandung sampai di Jakarta. Dengan inisiasi tersebut, bermuara kepada pembentukan lembaga pers mahasiswa yang independen guna mewadahi idealisme dan suara kritik yang ditujukan terhadap rezim Orde Baru yang kebijakanya banyak menuai kontroversi, kemudian muncul harian KAMI di Jakarta dan Suara Mahasiswa di Bandung. Pasca-66, berakhirlah bulan madu antara gerakan mahasiswa dengan pemerintahan Orba, selesai seiring dengan peningkatan otoritarianisme orba.

Salah satu keprihatinan mendalam dalam dunia pers yang terjadi pada masa Orba, yakni ketika pemerintah melakukan pembredelan harian-harian lokal yang dikelola oleh mahasiswa. Setelah elaborasi antara gerakan mahasiswa dan militer berhasil menggulingkan Soekarno dari tampuk kepresidenan, sejalan dengan penghancuran gerakan PKI yang dianggap membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa, gerakan mahasiswa tetap terpatri di dalam konsepsinya bahwa dasar idealisme berdasarkan keadilan sejati tidak berarti koalisi dengan penguasa berlangsung secara kontinyu. Oleh sebab itu, semenjak militer mulai mengambil alih kekuasaan, maka hal itu menandakan dimulainya rezim baru pemerintahan di bawah kendali militer yang cenderung represif. Berbagai aktivitas di kampus yang disinyalir berpotensi untuk diadakanya gerakan provokatif dicermati oleh pemerintah sebagai sebuah ancaman, Maka dari itu, BKK-NKK oleh Daud Yusuf diciptakan, untuk melemahkan bahkan mematikan gerakan mahasiswa dan pers mahasiswa. Kebijakan ini menjadikan IPMI, termasuk semua kegiatan jurnalistik mahasiswa mati, karena pers mahasiswa secara sistematis dibekukan. Tidak banyak pers kampus yang kemudian tetap bertahan.

Pelajaran berharga yang dapat diambil, sebenarnya secara substantif, perlawanan mahasiswa bukan dalam konteks untuk menguasai, dalam artian tidak untuk memperoleh pencapaian kekuasaan, tetapi semata-mata karena kita ingin agar terciptanya situasi yang lebih baik, beserta tuntutan agar penguasa (rektorat) melakukan kebijakan sebagaimana yang sesuai dengan idealita kita. Salah satu trek yang diupayakan oleh gerakan mahasiswa yakni melalui jalur pers. Tetapi tindakan opresif rezim yang pada waktu itu berkuasa punya kewenangan yang kuat meredam institusi pers yang memiliki kemungkinan untuk memprovokasi masyarakat lewat publikasi tulisan-tulisan, membuat dunia pers diliputi ketakutan. Pihak yang mendefinisikan diri berseberangan dengan haluan Orba diperhitungkan sebagai lawan politik. Padahal seharusnya, kebebasan pers berlaku untuk semua, tanpa adanya pembatasan untuk pengekangan.

Berakhirnya pemerintahan Orba menandakan sebuah era baru ketika kebebasan sangat dijamin oleh konstitusi, tidak ada lagi repressif aparat, tidak ada lagi pengekangan secara massif. Karena, era reformasi memberi keran selebar-lebarnya untuk berpendapat, berafiliasi poltiik dalam konteks demokrasi yang seperti seolah telah lama dibumihanguskan pada beberapa periode lalu. Sehingga karena fenomena ini, media massa kembali memperlihatkan geliatnya, kebebasan berpendapat diberi ruang dalam beberapa peraturan dalam kode etik jurnalistik yang memberi garansi dan arahan bagaimana pers yang ideal dan sesuai aturan.

Pada setiap dinamika, terdapat wartawan yang kooperatif dan non-kooperatif. Banyak wartawan yang dibunuh tidak hanya ditangkapi dan diciduk. Namun di balik segelintir pers yang tetap anti kooperatif inilah cikal bakal pers yang ideal. Peran pers secara implisit berkontribusi penting guna mewacanakan konteks Indonesia Merdeka, padahal kata Indonesia dianggap tabu saat itu. Tidak heran, pemerintah kolonial pun mulai mengambil inisiatif untuk melakukan tindakan represif untuk meredam semangat euforia Indonesia merdeka yang diperjuangkan dengan penuh determinasi lewat surat-kabar dan juga artikel propaganda oleh pers yang pro-kemerdekaan pada zaman itu

Mendefinisikan kembali pers mahasiswa

Pers mahasiswa adalah sebuah sarana kontrol sosial yang berfungsi sebagai penyeimbang wacana dalam dunia kampus dan juga sebagai advokasi masalah-masalah yang ada di kampus, juga informasi informal yang dikategorikan sebagai wahana ekspresi mahasiswa itu sendiri. Ruang lingkup pada pers mahasiswa secara esensi tidak jauh berbeda dengan dunia pers pada umumnya, hanya saja lebih intensif menyorot kepada dinamika kehidupan kampus, serta bagaimana mengungkap berbagai problematika lewat kacamata mahasiswa. Konten dari pers mahasiswa, selain dari hal-hal yang sifatnya informasi kritik tentang sosial-politik, ekonomi juga sampai politik, bahkan hal-hal ekspresif yang berkaitan dengan dinamika kehidupan mahasiswa, terutama gaya hidup, hiburan, dll. Adapun kemampuan yang harus dimiliki oleh insan pers yakni kemampuan menulis, analisis kritis, mengusut kasus dan juga inisiatif dalam investigasi sebuah permasalahan.

Mereka yang ingin menjadi bagian dari pers mahasiswa harus terlebih dahulu memiliki idealisme, terutama integritas. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh aktivis kampus pers adalah kepemilikan atas sense of news, yang mendasari pembuatan tulisan-tulisan yang bersumber dari kepekaaan terhadap realita sekitar. Maka dari itu, perlu sekiranya inisiatif di dalam membaca realitas yang memiliki kemungkinan punya nilai informasi dan layak disajikan dalam bentuk berita.

Pers mahasiswa, terutama, harus mampu untuk mengupas secara konkret dan memberikan eksplanasi yang holistik terhadap berbagai macam masalah yang terjadi dalam dunia kampus. Sebagaimana prinsip dalam jurnalisme, bahwa independensi sejatinya mutlak diperlukan, sama halnya seperti yang tertera pada kode etik jurnalistik, bahwa politisasi kepentingan lewat nilai berita hanya akan menurunkan kadar objektivitas sebuah berita, sehingga terdapatnya tendensi tertentu hanya akan menyajikan informasi yang salah. Selain itu, juga hal yang tidak dapat disepelekan lainya adalah urgensi mengenai pentingnya sebuah verifikasi, dan konfirmasi lewat investigasi untuk mendapatkan akurasi data yang tepat. Dalam hal ini untuk menghindari terjadinya penyimpangan yang mungkin saja dilakukan oleh oknum wartawan, maka ada sebuah lembaga yang diberi otoritas untuk mengawasi dan menindak terjadinya pelanggaran pers, seperti pemerasan narasumber oleh wartawan, sebagaimana tugas dari Dewan Pers, yaitu tetap menjaga kemerdekaan pers dan juga peran juga fungsi pers.

Ahmad Fahri Huseinsyah 
Pengamat Politik
Deputi Kajian Eksternal Kementerian Kebijakan Publik
BEM Universitas Airlangga (Unair) Surabaya