Surat untuk Walikota Lhokseumawe: Batalkan Larangan Duduk Ngangkang!

Foto : worldofstock.com | Pengendara sepeda motor di Iran
Kehadapan saudara Suaidi Yahya yang –tidak- saya hormati,

Sungguh langkah anda sangat tepat. Kalau bisa ditambah lagi peraturan serupa agar masyarakat semakin cepat sadar; telah salah memilih walikota.

Semua ini bermula dari sms dan posting yang beredar di jejaring sosial, yang saya pikir guyonan belaka. Sungguh saya tidak paham akan ada peraturan yang menertibkan cara duduk perempuan di motor: perempuan tidak boleh ngangkang.

Peraturan ini bisa jadi akan diikuti oleh peraturan lainnya, yaitu tidak boleh bawa motor, lalu tidak boleh keluar rumah, tidak boleh bersekolah, tidak boleh bekerja, tidak boleh berbelanja, tidak boleh bersilaturahmi, tidak boleh ke rumah ibadah, tidak boleh ke rumah sakit! Serba tidak boleh ini dijadikan kebijakan karena ingin menertibkan moral, keamanan, melindungi, menghormati perempuan. Memangnya yang bertanggung jawab atas semua persoalan moral sosial itu cuma perempuan? Berarti selama ini pemerintah ada dimana? Oo ya saya ingat, pemerintahnya ngurusin selangkangan.

Saudara Suhaidi, ingatan Anda pasti mulai luntur terhadap kasus perkosaan yang menimpa seorang perempuan di Aceh bagian barat. Perempuan itu berada di pantai saat dilakukannya sweeping pantai oleh serombongan laki-laki sebagai ekses euforia dan salah kaprah atas penerapan Qanun 11, 12 dan 13.

Saudara Suhaidi, saya juga asumsikan Anda tidak tahu kasus yang menimpa sepasang remaja di kawasan pesisir Aceh Besar, yang dipaksa melakukan reka ulang tindakan “amoral” sambil difilmkan oleh masyarakat yang merasa bahwa tindakan mereka diperbolehkan oleh agama dan pemerintah atas alasan menegakkan kebenaran.

Saya pun menganggap Saudara Suhaidi tidak pernah mendengar kasus perempuan Bireuen yang terpaksa pulang ke rumah jalan kaki karena perempuan dilarang dibonceng (berduaan) oleh laki-laki lain yang bukan suami/kerabatnya, padahal suaminya terkapar sakit di rumah.

Bisa dibayangkan kalau peraturan ini digelontorkan, perempuan akan macet mobilitasnya. Otomatis anak-anak dan orang tua juga mengalami hal yang sama. Perempuan berkendaraan rentan mengalami kecelakaan.

Dari Aceh bagian lain kita akan mendapati kebijakan yang melarang pedagang menjual BH dan celana dalam karena dua benda itu disinyalir menyebabkan fantasi. Akibatnya konstalasi sendi kehidupan masyarakat mulai ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, politik, agama akan mengalami kemunduran. Peradaban Aceh mundur ke jaman antah berantah.

Apakah nanti kita harus melihat sandiwara dimana seorang laki-laki dibebaskan dari dakwaan tindak pidana pelecehan atau perkosaan karena korbannya duduk ngangkang?

Saudara Suhaidi, banyak masalah yang menimpa perempuan dan Anda menyalahkan perempuan atas semua permasalahan itu. Sepertinya Anda merasa wajib menertibkan perempuan. Saya miris mendengarnya. Miris, karena Anda hanya menyalahkan perempuan.

Seorang kawan laki-laki pernah bilang pada saya, “Ah bisa mati kita kalau begini. Lama-lama nggak asik lagi keliling kota karena tidak bisa lihat perempuan cantik”. Saya marah pada komentar yang melecehkan ini, tetapi saya pun memahaminya. Ini adalah kritik yang dilontarkan kawan saya, karena kekhawatirannya akan upaya struktural tajam yang bertujuan menghapus keberadaan perempuan dalam siklus sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.

Sungguh di Aceh semakin lucu kebijakannya. Dan lebih lucu, belum terdengar upaya Gubernur menertibkan bola liar yang menggelinding menyeruduk ke sana sini.

Saya pikir Saudara Suhaidi tidak pernah meluangkan waktunya untuk mendalami persoalan mendasar permasalahan-permasalahan riil rakyatnya. Atau, bertatap muka langsung dengan rakyat untuk berdiskusi apakah mereka lebih memilih peraturan seputaran letak kaki perempuan atau letak rumah sekolah, letak rumah sakit,letak jalan aspal, letak irigasi, letak terminal, dan letak pasar.

Saya sarankan agar Saudara Suhaidi mau berpikiran lebih terbuka. Cobalah belajar kepada walikota lain yang lebih berpengalaman dan berhasil, Jokowi dan Ahok misalnya.

Setidaknya tahun kedua kepemimpinan anda akan menjadi tahun spektakuler dan penuh pujian. Periode dimana angka kesehatan semua masyarakat meningkat, pendapatan perkapita penduduk Lhokseumawe di atas rata-rata provinsi Aceh, tingkat pendidikan melonjak tajam.

Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan positif. Dan, itu bisa Anda mulai, dengan membatalkan aturan tentang perempuan tidak boleh duduk ngangkang! [ap]

Dari: ARABIYANI (IYA)
Penulis adalah perempuan Aceh

Tags