Caleg perempuan, hanya basa-basi?

0
DALAM ruangan yang lumayan besar itu, berkumpul sekitar 150-an masyarakat Aceh dari seluruh kabupaten/kota. Mereka memenuhi hajat Partai Aceh dalam rangka penyeleksian bakal calon anggota legislatif untuk provinsi (DPRA).

Walaupun materi yang diuji hanya sebatas baca Alquran dan pidato politik, tetap saja wajah gugup, salah tingkah, dan entah rasa apa lagi yang terlihat begitu menyiksa para peserta. Namanya juga ujian, mungkin, jadi wajar saja rasa was-was itu datang.

Sebuah acara yang menurut saya begitu menarik untuk diperbincangkan, lebih-lebih ketika melihat adanya 30% kaum perempuan yang ikut andil dalam acara kompetisi tersebut. Warna-warni jilbab dan baju mereka memberi warna tersendiri di antara kerumunan para laki-laki.

Mengapa pula mereka mau hadir di tengah kerumunan laki-laki? Apakah inisiatif sendiri atau hanya sebatas memenuhi panggilan orang-orang tertentu saja? Boleh jadi ini pertanyaan sinis, juga terkesan pesimis. Terserah saja mau bilang apa. Yang pasti, ketika UU mewajibkan kuota 30% perempuan, semua partai merasa kewalahan memenuhinya. Sebuah realitas yang mesti dijawab oleh para perempuan yang masih peduli dengan keterlibatan kaum perempuan diranah publik.

Saya sendiri mencoba memutar kembali ingatan ke 1998. Ketika saya masih terlibat dalam gerakan perempuan Aceh. Dari pengalaman pribadi yang melihat begitu hebatnya gerakan perempuan, begitu banyak uang yang digelontorkan untuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan, atau untuk LSM yang fokus pada program pemberdayaan perempuan. Sejatinya partai politik tak pontang-panting membidik perempuan untuk diusung ke parlemen.

Tapi apa yang terjadi? Ketika undang-undang mulai peduli pada perempuan, malah mereka susah dicari. Perempuan-perempuan yang sudah kita klaim pernah kita berdayakan, pernah kita didik dan pernah kita bimbing untuk bisa terjun di dunia politik, di mana mereka? Kenapa harus ibu-ibu yang tidak tahu-menahu tentang dunia politik yang kemudian terlibat dalam urusan partai politik?

Jangan-jangan para pria di partai politik tak mau ada perempuan pintar yang menjadi pesaing mereka. Tentu sungguh naif jika alasan itu yang kita kemukakan di sini. Irasional. Sebab, kalau kita mengklaim perempuan sudah pintar, lalu mengapa mereka tak menggunakan kecerdasannya membujuk politisi pria agar bisa merangkul. Tentu bukan berarti mengemis, tetapi menjadi bagian penting dari partai politik itu.

Bukankah orang pintar itu bisa melakukan apa saja? Bahkan mampu menggugat hingga melahirkan kuota 30%. Naif sekali. Hati saya tergelitik berbisik “Jangan-jangan sekarang ini perempuan Aceh membutuhkan perempuan dari Pulau Jawa, baru bisa melakukan apa yang diinginkannya. Bukankah kita pernah berkata Cut Nyak Dhien itu lebih hebat dari RA Kartini? Jadi mengapa partai politik kewalahan mencari caleg perempuan?

Selalu saja mengklaim diri pintar dan telah berbuat, padahal hanya bisa memanfaatkan ibu-ibu yang telah direkrut oleh partai politik untuk kita beri pendidikan politik, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan yang sudah kita kaderkan jauh-jauh hari agar bisa bersama partai politik tertentu.

Di sini saya memberi dua jempol untuk aktivis perempuan yang sudah mampu menggugat negara untuk menyediakan kuota 30% bagi perempuan, sebuah terobosan yang luar biasa. Semestinya terobosan ini juga diimbangi dengan kesiapan kita menyediakan kader-kader perempuan yang siap pakai. Bukankah dunia publik (politik) itu dikenal dengan kekejamannya? Tak sembarang laki-laki dan perempuan bisa menembus dan bertahan hidup di dalamnya. Hanya orang-orang yang “ber-ruh” besi saja yang mungkin bisa berdiri tegar menghadang dunia “politik”.

Jika tidak berlebihan, saya harus bilang seperti ini “ Jika laki-laki itu pintarnya 50%, perempuan yang akan terlibat di parlemen itu harus memiliki kepintaran lebih dari 50%, begitu juga dengan keberanian, massa, dan tentu saja ekonomi. Diakui atau tidak, budaya patriakhi masih menjadi alasan utama kenapa perempuan harus memiliki energi ekstra ketika berhadapan dengan ranah publik. Kondisi seperti ini menuntut caleg perempuan untuk memiliki basis massa yang kuat, pengetahuan yang memadai, dan segala hal yang dibutuhkan untuk meyakinkan konstituen. Jadi, bisa Anda bayangkan apa yang akan terjadi dengan caleg perempuan yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia politik, dan tiba-tiba saja sudah mengisi kuota 30% sebagai syarat yang diajukan demi meluluskan wadah partai politik?

Jika caleg perempuan yang direkrut oleh partai politik adalah caleg yang demikian, sepertinya tidak berlebihan juga jika saya merasa khawatir akan kondisi affairmatif action ini, apakah kuota 30% itu hanya akan berlaku untuk memenuhi administrasi partai politik semata, atau dia akan mampu menerobos sampai ke kursi legislatif periode 2014-2018 mendatang?

Kekhawatiran saya ini semestinya menjadi peringatan dini bagi kita, khususnya perempuan-perempuan yang masih peduli dengan eksistensi perempuan di ranah publik, masih terlalu dini untuk mengklaim bahwasanya kuota 30% sudah berhasil. Bagi saya kuota 30% tidak bisa dikatakan ada jika belum mampu memasuki gedung legislatif, dan ini PR besar perempuan Aceh hari ini.

Mari mengawal kuota 30% perempuan hingga mampu sampai ke kursi parlemen dan tidak hanya berhenti pada tataran pendaftaran caleg semata. Ini perlu kita lakukan agar semangat Cut Nyak-Cut Nyak yang selalu kita banggakan itu bukan hanya ilusi semata, melainkan juga hadir dalam perilaku kita hari ini. Sehingga, tahun 2014 akan benar-benar menjadi tahun perempuan Aceh, di mana selendang Cut Nyak Dhien, Kemalahayati, Cut Meutia dan Mahkota Keempat Ratu akan berkibar dan berkilau menghiasi gedung parlemen Aceh. Kita siapkan energi untuk merancang qanun-qanun Aceh yang bermarwah untuk dikenang sepanjang sejarah, layaknya qanun yang telah dibuat oleh para perempuan di masa kejayaan Aceh tempo dulu. [ap]

Cut Meutia adalah Ibu Rumah Tangga

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)