Oleh:
Agus Putra A. Samad
SAAT INI, sektor budidaya perikanan
dikenal sebagai penghasil pangan yang berkembang pesat diseluruh dunia.
Berdasarkan data dari Badan Pangan dan
Pertanian Dunia (FAO, 2012) total produksi ikan dunia mencapai 156 juta
ton/tahun, dimana sektor budidaya menyumbang 63 juta ton atau sekitar 40% dari
total produksi tersebut. Angka ini hampir sama dengan produksi daging sapi (63
juta ton) dan hanya terpaut tipis dengan produksi daging unggas yang mencapai
88 juta ton. Terjadinya peningkatan produksi dari sektor budidaya perikanan ini
bukanlah tanpa sebab, hal ini dikarenakan tingginya permintaan ‘seafood’ dipasaran nasional dan
internasional. Ditambah lagi dengan meningkatnya pengetahuan penduduk dunia tentang
nutrisi yang terkandung dalam ikan, sehingga mereka lebih memilih mengkonsumsi
ikan daripada daging yang dianggap beresiko terhadap kesehatan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan
melaporkan bahwa produksi budidaya perikanan Indonesia terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2012 produksi dari sektor budidaya mencapai 9.6 juta ton
dan pemerintah menargetkan peningkatan produksi menjadi 16.9 juta ton pada
tahun 2014. Mengingat target tersebut, muncul pertanyaan, berapa persenkah
kemampuan daerah kita (Aceh) untuk menyumbangkan produksi ikan dari sektor ini?
Jika melihat kondisi sumberdaya alam (lahan potensial) dan keadaan sosial (kemahiran
dibidang budidaya) yang ada pada saat ini, jika ingin ambil bagian dalam menyumbang
ikan dari hasil budidaya, maka tentunya dibutuhkan keseriusan dari semua pihak
khususnya dinas terkait untuk membangkitkan sektor ini.
Sebahagian dari kita mungkin tidak
pernah terfikir akan potensialnya sektor budidaya perikanan. Memang, jika kita melihat
sekilas kondisi di pelabuhan pendaratan ikan dan pasar ikan, semua orang dapat menyimpulkan
secara ‘teori’ bahwa hasil tangkapan perikanan kita banyak dan berlimpah
sehingga teori tersebut dapat diteruskan menjadi sebuah prakiraan bahwa para nelayan
mestilah mendapatkan uang yang banyak dan dapat menghidupi keluarganya secara layak.
Namun, bila kita mengamati lebih dalam, perkiraan ini tidaklah tepat dan sangat
jauh dari kenyataan sebenarnya yang dihadapi oleh para nelayan. Mengapa hal ini
dapat terjadi? Karena kehidupan nelayan yang hanya mengandalkan hidup dari
tangkapan alam akan sangat dipengaruhi oleh alam itu sendiri. Sebagai contoh:
perubahan musim dan cuaca yang rutin terjadi setiap tahun dipastikan dapat
membuat para nelayan tidak dapat melaut sehingga menurunkan hasil tangkapan dan
bahkan tidak jarang para pemilik modal dan kapal akan mengalami kerugian,
mengingat besarnya modal yang dibutuhkan dalam setiap pelayaran (berdasarkan beberapa
sumber: modal yang dibutuhkan untuk sekali berlayar mencapai Rp. 15-25 juta).
Oleh sebab itu, para nelayan dan masyarakat pesisir tersebut perlu diberikan
kemahiran tambahan dalam hal budidaya baik di laut maupun di darat. Karena
dalam sektor budidaya, produksi ikan relatif lebih stabil, hasil panennya dapat
diprediksi, komoditasnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan
ketersediaan modal lebih terjamin; serta yang paling penting adalah tidak
bergantung pada musim dan cuaca. Bahkan bila sektor ini mau dilakoni dengan
serius, bukan hanya menjadi penghasilan tambahan bagi nelayan, tetapi dengan
kerjasama antar pembudidaya yang dikoordinir oleh seorang pengusaha yang ‘jujur’,
bisa saja hasil budidaya tersebut diekspor agar memperoleh nilai jual yang
lebih tinggi.
Sehubungan dengan masih lemahnya
sektor perikanan kita saat ini, membuat para pemerhati perikanan Aceh terkadang
gelisah “Apakah produksi perikanan kita akan mampu bangkit kembali?” untuk
menjawab hal ini, mari kita perhatikan beberapa hal berikut. Pertama,
selaku masyarakat yang agamis dan terbuka, penduduk Aceh yang sudah terputus
generasi ‘pewaris bakat alam’ yang terampil dalam membudidayakan ikan, apabila
diberikan pelatihan dan di evaluasi secara serius oleh pemerintah, dapat diyakini
bahwa generasi baru ini akan dapat membangkitkan kembali usaha perikanan.
Apabila masyarakat sudah memiliki kemahiran dalam bidang budidaya maka tentunya
ini akan mampu mendorong meningkatkan produktifitas, menyerap tenaga kerja dan
meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga dapat diproyeksikan bahwa tingkat
pengangguran dan angka kemiskinan Aceh yang saat ini mencapai 18.58% (BPS,
Januari 2013) akan menurun dengan cepat.
Kedua, ada pola yang tidak terdeteksi
secara umum, dimana masyarakat mengira bahwa ikan dilaut tidak akan pernah
habis. Pandangan ini merupakan hal yang amat keliru. Sudah banyak nelayan yang mengeluh
dan merasa kesulitan untuk meningkatkan hasil tangkapan mereka dilaut, hal ini
disebabkan oleh berkurangnya stok ikan dilaut. Fenomena ini, sudah lama
disadari oleh beberapa negara maju seperti: Inggris, Norwegia dan Finlandia. Negara-negara
ini rela membayar mahal dana ganti rugi kepada para nelayan agar mereka
berhenti menangkap ikan dilaut sampai batas waktu yang ditentukan pemerintah
untuk memberikan ruang hidup bagi ikan untuk tumbuh dan berkembang biak. Di
negara lainnya seperti: Taiwan, Jepang dan Australia, ketiga negara ini secara
rutin menganggarkan biaya yang cukup fantastis untuk melindungi kawasan perikanannya
melalui program ‘Marine Protected Area’. Oleh sebab itu, jika kita ingin hasil
perikanan tangkap Aceh tetap lestari, maka usaha budidaya perlu digalakkan
untuk mengurangi ketergantungan terhadap hasil tangkapan alam.
Ketiga, kurangnya informasi yang sampai ke
masyarakat tentang tingginya konsumsi ikan di propinsi ini telah menjadikan
Aceh menjadi pasar yang sangat menarik bagi pengusaha perikanan luar propinsi.
Sebagai contoh: seorang agen ikan lele di pasar lambaro Aceh Besar dan seorang
peternak lele di kota Lhokseumawe mengatakan bahwa untuk memenuhi permintaan
pasar, sekitar 50%-60% stok ikan lele berukuran konsumsi harus didatangkan dari
luar Aceh. Hal ini tentunya menjadi peluang pasar yang sangat menjanjikan bagi
pembudidaya lele di Aceh.
Keempat, kurangnya peran media dalam
memberitakan keberhasilan para pembudidaya serta minimnya penghargaan dari
pemerintah daerah menjadikan aktivitas budidaya perikanan tidak populer dalam
masyarakat. Sebagai contoh: beberapa pembudidaya ikan di wilayah Jawa Tengah, Jawa
Barat, Bogor dan Riau sering mendapatkan pemberitaan dan penghargaan dari Pemda
setempat atas peran mereka dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Hal ini tentu
akan berdampak pada menggairahnya program budidaya dan secara perlahan akan
meningkatkan kesejahteraan daerah.
Kelima, perlu disadari bahwa hal yang
sangat menentukan dalam kegiatan budidaya adalah ketersediaan induk dan benih
yang berkualitas dan berkelanjutan. Untuk itu dinas terkait harus mampu
memastikan bahwa Balai Benih Ikan maupun Unit Pelaksana Teknis mampu
menyediakan benih yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dinas pun harus mau ‘aktif’ bekerjasama
dengan lembaga perikanan lainnya seperti Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee
serta lembaga akademisi seperti: Unsyiah, Unimal dan Unsam yang sudah memiliki
ahli-ahli perikanan sebagai sarana transfer teknologi, mengingat para akademisi
terus melakukan penelitian untuk menemukan teknik-teknik terbaik untuk
meningkatkan produksi perikanan.
Keenam, Pemerintah harus mampu menyakinkan
dunia perbankan untuk membantu dalam masalah pembiayaan. Perlu disampaikan
bahwasanya kegiatan budidaya berbeda dengan penangkapan karena budidaya dapat
digolongkan sebagai program dengan tingkat resiko yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan kegiatan penangkapan. Selain itu, kerjasama antar instansi untuk
menyediakan dan memperbaiki infrastruktur seperti: sungai, saluran irigasi, kolam,
tambak, jalan dan listrik sangat diperlukan untuk menjamin efisiensi produksi.
Harus kita akui bahwa masih banyak
yang menyatakan bahwa sektor perikanan sangat sulit bangkit tanpa bantuan modal
yang besar. Namun patut kita ambil pelajaran dari pengalaman para pembudidaya
sukses diberbagai wilayah lain di Indonesia; setelah menunjukkan hasil kerja yang
nyata, mereka dengan tegas mengatakan bahwa ‘modal’ bukanlah segalanya, akan
tetapi keyakinan untuk ‘berusaha’ adalah yang sangat utama. Mengapa ‘berusaha’
menjadi modal utama? Karena hal inilah yang akan memacu seseorang untuk mau
melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan sebelum
menjerumuskan diri kedalam bisnis budidaya perikanan. Hal ini sepadan dengan
apa yang pernah disampaikan oleh seorang cendekiawan yang bijak “bahwa suatu
negara bisa maju bukan karena banyak warganya yang pintar dan berpendidikan
tinggi, akan tetapi suatu negara bisa maju karena penduduknya yang mau berprilaku
jujur dan mau berusaha”.
Secara umum, mentalitas masyarakat
kita yang inferior sering menghambat rasa percaya diri dalam memulai usaha,
sehingga terjebak pada pemikiran bahwa tanpa modal yang besar, maka sulit untuk
memulai usaha. Kita tidak terbiasa berpikir dan mencantumkan analisa betapa
wilayah kita telah dijadikan sebagai lahan bisnis yang mempesona bagi pengusaha
dari luar daerah. Ini bukan bentuk narsisme, bukan pula superioritas, akan
tetapi bentuk penghargaan dan rasa percaya pada diri sendiri. Adakah kita mau terus
terjebak dalam sejarah bahwa perikanan Aceh pernah jaya pada tahun 80-an? Atau
kita berusaha untuk bangkit kembali memajukan perikanan dan mendapatkan gelar
sebagai daerah swasembada ikan? Itu semua ditangan anda.
*Agus
Putra A. Samad,
Mahasiswa Program Doctoral di Department of Aquaculture,
National
Taiwan Ocean University, Taiwan.