Konglomerat Media Sebagai Propagandis Politik

Oleh: Khairu Syukrillah

SECARA keilmuan propaganda termasuk dalam disiplin ilmu komunikasi. Dalam peta ilmu komunikasi, propaganda termasuk ke dalam metode komunikasi. Metode berarti cara. Dalam hal ini propaganda merupakan suatu cara penyampaian pesan. Sementara itu, pelaku utama propaganda di sebut propagandis. Sebagai sebuah cara, propaganda dianggap sekadar alat, sehingga ia bersifat bebas nilai. 

Media massa di Indonesia, baik media elektronik maupun cetak, yang dimiliki oleh para pemodal besar sekaligus politisi, mampu menjadi alat propaganda politik yang cukup ampuh dan, atau setidaknya, mampu menenggelamkan persoalan-persoalan complicated – atau citra buruk – dari para pemilik media tersebut guna melicinkan gerak mereka menuju kekuasaan politik. 

Dalam hal ini, kita dapat langsung menyebutkan, untuk media elektronik, Metro TV merupakan salah satu media yang sering menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik. Sepak terjang Surya Paloh sebagai pemilik televisi dalam politik, tidak bisa dipungkiri mempengaruhi pemberitaannya. Terutama pemberitaan mengenai Partai Nasdem, dimana Surya Paloh menjadi Ketua Majelis Nasional Partai Nasdem. 

Kolaborasi media Surya Paloh (Media Indonesia dan Metro TV) dengan kelompok Hary Tanoesoedibjo (RCTI, Global TV, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio, serta sejumlah jaringan media lokal) tentu akan berada di belakang Partai Nasdem. Karena baru-baru ini Hary Tanoe soedibjo mulai memasuki ranah politik dan bergabung dengan Partai Nasdem. Sehingga dapat di pastikan Pemilu Presiden tahun 2014 nanti, media massa di kuasai oleh kelompok media Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo. 

Selain duet Hary Tanoe-Surya Paloh, ada pula Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar. Pemilik kelompok usaha Bakrie and Brothers ini memiliki TV One, ANTV, Vivanews.com. Tentu Aburizal tidak sendiri. Ada Erick Thohir, yang memimpin PT Visi Media Asia, induk perusahaan media Bakrie. 

Sementara Erick, adik kandung Boy Garibaldi Thohir, salah satu pemilik perusahaan pertambangan Adaro, adalah pemilik Jak-TV dan kelompok usaha Mahaka: di antaranya mengelola Republika dan jaringan radio Prambors. 

Pemilik CT Corp yang mengelola stasiun televisi Trans TV, Trans 7, dan Detik.com ini, secara resmi tidak terafiliasi dengan politik. Namun Partai Keadilan Sejahtera sudah menjagokannya sebagai calon presiden 2014, berpasangan dengan Menko Polhukam Djoko Suyanto seperti yang telah di beritakan oleh para media waktu lalu. 

Kemudian ada Kelompok Jawa Pos, pemiliki koran Jawa Pos dan Rakyat Merdeka. Jaringannya di daerah-daerah juga cukup kuat, dengan merek Radar. Kelompok media ini didirikan dan dimiliki oleh PT Grafiti Pers, yang juga pendiri Tempo. Kelompok Jawa Pos yang dikelola dan dibesarkan oleh Dahlan Iskan, kini Menteri Negara BUMN, dari informasi yang didapat berada di belakang barisan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Kemudian tinggal kelompok Tempo dan Kompas. Dua kelompok besar ini bisa jadi bola liar. Secara formal sulit mendefinisikan kedekatan politiknya. Namun akan terlihat menjelang pemilihan umum nanti, kemana arah dua media ini bergerak. Itulah pilihan yang ditempuh. 

Dalam kondisi seperti ini, media sudah kehilangan esensi dan akal sehatnya untuk melakukan kontrol sosial. Apalagi harus menjadi pilar demokrasi. Sesuatu yang sangat naïf jika media yang dimiliki politisi masih mengatakan bisa independen dan bebas dari intervensi pemilik. 

Karena itu, sebagai konsumen informasi, hendaknya kita harus pintar-pintar menyaring informasi yang masuk. Ketika sebuah media terafiliasi memberitakan figur atau kegiatan kelompok politiknya, itu hanya bentuk pencitraan atas Partainya. Begitu juga ketika yang disudutkan adalah lawan politiknya, kecuali sepanjang yang diungkap sebatas fakta tanpa ditambahi opini. 

Mata publik politik yang terkonsentrasi pada media terkemuka di Indonesia ini sangat memungkinkan bagi politisi pemilik media tersebut untuk memainkan opini publik. Pasti, dua media tersebut akan menyangkal tuduhan ini dan mengatakan bahwa mereka hanyalah cermin bagi publik. “Media sebagai cermin bagi publik” adalah mitos yang menyesatkan. Karena, faktanya, media mampu memainkan peran dalam menetapkan agenda-agenda pemberitaan mengenai politik: menentukan apa berita politik yang akan dibahas hari ini, berapa banyak, dalam konteks apa dan untuk kepentingan siapa. 

Pelaku propagandis sangat berpengaruh dalam menyampaikan misi propagandanya, jika menggunakan media. Sehingga dalam ranah politik di negeri ini, tidak menutup kemungkinan, para pemilik media besar di negeri ini, dapat dengan mudah mempengaruhi opini public, dan berhasil menyampaikan misi propagandanya kepada khalayak melalui media yang ia miliki sehingga kedudukan setrategis dapat dalam ring politik dapat dengan mudah di kuasai oleh mereka. 

Jika memang inilah realitas propaganda perpolitikan di negeri ini, kita tidak dapat berbuat banyak, namun selaku bagian dari khalayak maupun public yang cerdas, kita harus mampu memilah dan cerdas memilih. 

Begitu juga para pelaku politik maupun propagandis politik yang memiliki misi tertentu di dalam ring politik di negeri ini, yang dalam hal ini merupakan konglomerat media. Cerdaslah dalam mempengaruhi khalayak agar opini yang terpatri dalam pikirian public bukan opini yang negative. Serta pahami, bahwa media yang anda miliki bukan media yang dengan mudahnya menyebarkan propaganda politik, demi kedudukan maupun kekuasaan pribadi, namun ingat juga akan fungsi media sebagai control social, bukan media yang di control oleh social. []

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP, Unimal Lhokseumawe dan Staf Pengurus SMKM-Atjeh
Tags