Semakin Mahalnya Harga Kursi Parlemen

oleh : SYAHZEVIANDA
''Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan mendapat''. Nah ungkapan itu kiranya dapat dijadikan referensi spesifik bagi kita bersama untuk menyimpulkan sebuah cerita kalah atau menang dari sebuah pencapaian dalam menggapai sebuah kursi parlemen oleh para kandidat dipentas demokrasi Pileg 2014.

Kini jawaban-jawaban itu hampir jelas tergambar siapa yang menjadi wakil kita untuk dititipkan di gedung terhormat dimata rakyat, setelah melalui proses yang begitu mekanis, panjang dan penuh ranjau tapi menggiurkan tersebut. Walaupun secara resmi belum diumumkan siapa-siapa pengisi kursi parlemen di berbagai tarap oleh Institusi Pelaksana khusus yang telah ditunjuk oleh Undang-Undang, tapi setidaknya para kompetitor handal tersebut sudah punya coretan hitungan angka berapa suara akurat yang berhasil terhimpun dari masing-masing TPS, sehingga kalkulasi itu dapat membentuk sebuah keyakinan bahwa kursi untuk mereka di parlemen memang sudah pasti tersedia.

Setelah pesta berlangsung, letihlah yang tinggal, tak ubahnya seperti usainya penyelenggaraan Pemilu Legislatif lalu. Lumayan bagi yang memang benar-benar handal sehingga tercipta sebuah kursi olehnya. Nah ada juga saudara-saudara kita yang gagal mendapat kursi dan yang masih belum puas terhadap hasil kesimpulan dari sebuah cerita PILEG 2014. Rona kekecewaan itu tak gampang untuk dibendung, mental dan psikologis mereka saat ini sedang mengalami terpaan kenyataan pahit. Selain itu efek sosial yang didera juga menjadikan para caleg yang gagal semacam perlu untuk dijemput semangat, apalagi ternyata yang kalah adalah sosok yang dicintai masyarakat, cemoohan dan cibiran memang merupakan hal yang terelakkan.

Tinggal lagi bagaimana caleg yang belum berhasil tersebut mengatur ritme tentang emosionalnya untuk menghadapi dan menanggapi atas ketidakberhasilan tersebut, konsekwensi dari sebuah kompetisi memang harus siap kalah atau menang. Kali ini sebelum menjalankan 3 fungsi di Gedung DPR, ternyata managerial dari diri pribadi caleg diuji terlebih dahulu, para caleg diuji sebelum duduk di parlemen menjalankan fungsi legislating, budgeting dan controling, dengan seberapa besar keuletannya untuk meyakinkan para pemilih yang tetap setia padanya sampai dengan di bilik suara di TPS pada hari ''H''.

Bermacam ragam tipikal pemilih dijumpai ketika itu,baik suara sumbang, suara bimbang bahkan suara berseberangan itu mulai mendera para jagoan demokrasi dengan performa gemilang. Dari hasil itu pula kini para Caleg semakin tau siapakah yang memang benar-benar terlihat dan teruji kesetiaannya, kini semakin tau siapa orang yang menusuk dari belakang, siapa yang memberikan jalan menuju gedung parlemen. Tak terpungkiri kini pemilih-pemilih kita semakin melek politik, harus diakui memang pemilih cerdas dan setia itu masih ada dengan menentukan nasibnya menuruti kata hati mulia untuk 5 tahun mendatang siapakah sosok yang dianggap mampu mengemban amanah-amanah rakyat. Ya benar, dengan bismillah mereka tetap menggunakan hak pilih mereka menuruti kata hati itu masih bertebaran walaupun dengan skala tertentu saja.

Tak juga ditutup-tutupi oleh kita kalau bagian dari pemilih kita diluar sana masih saja banyak yang khilaf melihat sejumlah recehan rupiah demi menaruh harga dirinya dan marwah. Entah apa yang salah dari fundamental politik negeri ini, apa memang sistem yang mengajarkan pada rakyat yang tak jauh lebih hina dari mengajarkan politik bodoh pada rakyatnya, sehingga warisan budaya bodoh yang tereduksi kian hari semakin terasa hidup dan berkembang jelang pelaksanaan pesta demokrasi sampai dengan saat in.

Iya ''uang'', uang memang sering dijadikan senjata ampuh untuk mengelabui bahkan membutakan kata hati rakyatnya dalam menentukan nasibnya sendiri untuk 5 tahun kedepan. Tak juga kita harus persalahkan Pemilih-pemilih tak berprinsip seperti itu, banyak faktor yang menentukan timbulnya hal-hal seperti tersebut diatas. Gejala sosial dimasyarakat sering dijadikan alasan kuat mengapa rakyat seperti terlihat bodoh jika dihadapkan dengan rupiah dalam menentukan pilihannya.

Semakin macetnya perputaran roda ekonomi yang semakin hari semakin tidak menunjukkan angka stabilitas ekonomi kerakyatan juga merupakan faktor kunci yang dampaknya sangat signifikan bagi kesehatan politik bangsa ini. Akibat dari ulah para elite sebelumnya lah yang mengajarkan budaya politik ini semakin tidak beretika yang menciptakan kebencian bagi rakyat yang suka memvonis, ekses yang sangat besar inilah hal yang dapat merusak persendian demokrasi bangsa ini semakin keropos dari kepercayaan, sehingga kebencian dan kejenuhan itu selalu menghantui dan semakin meradang dipikiran rakyat, yang seharusnya budaya seperti itu tidak perlu dipertontonkan pada rakyat yang masih lugu politik.

Kalau rakyat kita sudah bermental politik uang, mau jadi apa bangsa ini?, yang secara tersirat merupakan PR yang berat bagi para elite saat ini dan nantinya untuk mencari anternatif yang bersifat solutif, komunikatif dan intensif. Jika semakin dilakoni dan tidak dicari solusi yang tepat, secara simultan kedepan akan membuat kewalahan para elite untuk melunakkan hati para pemilih yang telah terjerumus.

Nah, yang menjadi pertanyaan besar adalah, siapa yang patut dipersalahkan jika memang dinamika seperti ini sudah mendarah daging di sistem perpolitikan negara ini semakin menunjukkan angka degradasi moral politik bermental uang. Tak tertutup kemungkinan akan melahirkan embrio-embrio baru nantinya yang jauh lebih parah dibandingkan yang saat ini terjadi, tak ada yang sanggup membendung ini semua jika tak ada kesatria yang mampu memutuskan sirkulasi politik yang seperti ini.

Kini cikal bakal insan tak berdosa semakin lama semakin tumbuh dan berkembang, mereka yang belum mengerti sama sekali dinamika politik yang seharusnya menjadi cita-cita demokrasi bangsa ini, betapa pentingnya mereka generasi muda untuk memahami sebuah sistem berdemokrasi yang baik dan benar. Sejak dinilah mereka diajarkan pendidikan politik yang baik yang bermental juara, bukan berikan kesempatan tangan-tangan kotor yang penuh kemunafikan yang menjamah dan mengobok-obok pikiran generasi baru penerus bangsa akan hal-hal tak bermoral dan etika berpolitik yang kurang bermartabat tersebut.

Kita selaku intelektualis yang memahami seluk-beluk dan seiring jalan mengamati perkembangan politik bangsa ini, Besar harapan kita pada kesatria tangguh tersebut menggiring demokrasi kita agar semakin baik lagi. Sudah saatnya menyelamatkan generasi kita saat ini untuk kedepan agar mereka tidak terbelenggu dalam sirkulasi politik yang kurang tepat untuk diwariskan pada anak cucu kita nanti, sekaligus menempa mental-mentalnya untuk siap berargumentasi dengan dinamika yang ada demi kepentingan rakyat indonesia dimasa mendatang. Cukup kita saja yang merasakan keresahan akibat dinamika politik seperti saat ini yang terus menerus tersandung masalah etika berpolitik yang penuh tanda tanya ini.

Uang memang bukan merupakan jaminan bagi siapa saja yang berkecimpung pada sebuah kompetisi politik dalam perebutan singgasana tahta terhormat di gedung parlemen, walaupun banyak dari mereka yang saat ini tidak percaya sama sekali kalau mendapatkan kursi itu tidak mesti dengan uang, tapi sayang orang-orang baik itu sering jatuh mentalnya berhadapan dengan ''politisi beruang''.

Politik uang adalah politik jebakan, tanpa disadari banyak yang terjebak hanya dengan mengandalkan uang tetapi tidak cermat dan piawai memahami karakter pemilih terlebih dahulu, berakibat pada kurang beruntung dan pupus baginya untuk mendapatkan sebuah pengharapan.

Keteledoran para caleg yang bermodal besar bermental rupiah, ternyata masih saja dapat dilumpuhkan oleh idealisme yang ternyata masih bertahan ditengah kehidupan masyarakat heterogen yang memang dari hati kecil menginginkan perubahan kearah yang lebih baik lagi tatanan kehidupan masyarakat.

Dibalik itu juga, masih saja terus dimanfaatkan oleh kepintaran para pemilih yang bermental rupiah, tanpa disadari siapapun yang membagi-bagi uang, sembako dan lainnya, dengan sangat senang hati akan mereka terima, dengan bermodal janji dan memberi keyakinan akan memilihnya. Konsekwensi untuk dipilih itu bukan sebuah jaminan dan merupakan urusan belakang, terpenting adalah ''wani piro''. Alhasil setelah dilakukan perhitungan suara, relevansi tidak berimbang itu langsung berubah menjadi kekecewaan dan kekesalan besar. Penyesalan selalu datang belakangan, hasil yang jauh berbeda dengan yang diharapkan seperti apa yang telah dinegosiasikan sebelumnya itu rupanya menyakitkan.

Miris, jika semata-mata nominal angka rupiah hanya dapat dijadikan senjata ampuh untuk mengelabui para pemilih. Percayalah dibalik beragam tipe masyarakat yang kini semakin melek politik tetap tersisa orang-orang yang memang memandang politik dengan hati nurani yang sama sekali kebal terhadap gesekan-gesekan politik materialistis tersebut, komitmen hati mereka tidak pernah membodohi hati nurani mereka untuk menitipkan ''tong kosong nyaring bunyinya'' sebagai wakil mereka di Gedung Parlemen.

Wajar saja kalau budget yang dikeluarkan untuk berebut kursi DPR itu sampai menembus angkat yang sangat fantastis, semua itu sinergis dengan tingginya animo masyarakat yang masih ingin merasakan bagaimana sih rasanya dapat uang muka (down payment) dari caleg yang belum jelas kursinya itu di DPR, walaupun banyak hal yang melatarbelakangi maraknya aksi bagi-bagi upeti yang mempengaruhi semakin tingginya cost politik.

Ternyata kalkulasi politik dimata sebagian pemilih kurang bijak itu semakin luar biasa. Betapa tidak, misalkan saja jika ada 3 orang caleg di level yang sama memberikan uang pada salah seorang pemilih masing-masing sebanyak Rp. 100.000,- melalui Tim suksesnya, maka total uang terkumpul pada hari jelang pemilihan saat itu sejumlah Rp. 300.000,- , belum lagi ditambah sembako, kain sarung, alat-alat pertanian dan lainnya yang sifatnya atas nama pribadi. Estimasi yang timbul dibenak mereka adalah : ''kapan lagi terima uang dari caleg yang jumlahnya lumayan itu, kalau tidak pun 5 tahun kedepan si-caleg terpilih lupa sama kita dan belum tentu bisa berbuat apa-apa''.

Anggapan bodoh seperti inilah yang tanpa disadari ''hak menyuarakan aspirasi'' pemilih tak-cermat tersebut telah dibisukan dengan sejumlah nominal-nominal angka tersebut, disitulah marwah kita langsung dapat terjengkal oleh politikus akibat dari saudara-saudara kita yang masih khilaf berhadapan dengan uang.

Bagi pemilih yang sudah mendapatkan-DP sebelum memilih, jangan berharap banyak ketika ''si-ATM jalan-jalan''  tersebut terpilih dan berhasil mendapatkan kursi empuk impian 5 tahun untuk ''BERBUAT BANYAK'' pada kita nantinya, karena ketika itu dirinya sudah menghabiskan banyak uang untuk dibagikan supaya terpolih. Karena kan sudah diberikan DP (uang muka) sebelumnya, si-caleg terpilih pun dengan suara lantangnya mengatakan : ''SUKA-SUKA SAYA DONG, SAYA SUDAH HABIS BANYAK UANG, SAYA MAU KEMBALIKAN MODAL SAYA DULU, SAMA UNTUK MODAL UNTUK PEMILU 2019''. Pada siapa kita hendak mengadu wahai saudaraku? Kalau sudah begini siapa yang harus disalahkan? Ini jelas kebodohan dikanca politik yang membudaya, paling kita cuma bisa mencercanya saja, itu tidak cukup puas untuk menghilangkan kekecewaan, atau paling tidak memilihnya pada Pemilu 2019. Semua itu tidak cukup untuk kita jadikan sanksi sosial.

Buat apa lagi, strategi berbeda akan diterapkan oleh politikus yang telah mahir membaca situasi dan alur pikir masyarakat yang masih masih kecanduan dengan menerima ''uang 5 tahun sekali'' dari oknum caleg-caleg yang jumlahnya berpariasi, kalau kita terus terpeleset diatas uang recehan. Lalu kapan kita akan bercerita program dan pembangunan berkelanjutan di kampung kita, kalau terus-menerus kita diwakili oleh orang-orang yang dipilih dengan cara tidak fair play.

Percayalah, nasib kita 5 tahun mendatang kita tentukan sendiri dari, oleh dan untuk kita. Pun demikian dapat retak dan lumpuh karena kita, yang selalu melakukan pembiaran bahkan meng-iyakan dari apa yang salah. Perlu kiranya bersama kita menyimpulkan ulang cerita politik yang perlu pembenahan ekstra ini untuk kelanjutan nasib demokrasi bangsa demi kepentingan rakyat, agar eksistensi tatanan politik kita semakin terarah dan tak terbelenggu pada politik tak bermoral yang semakin krusial, sehingga dampak terbesarnya adalah tak lain untuk kesejahteraan rakyat dan stabilitas ekonomi masyarakat semakin membaik.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum 
Universitas Samudra Kota Langsa.