Lebih 50 Persen Ikan Aceh Diekspor via Medan

Banda Aceh – Aceh tidak ada yang pungkiri memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, termasuk kekayaan bahari yang menyimpan banyak potensi ikan. Kekayaan Bahari ini seperti tersedia di kawasan laut selat Malaka dan Samudra Indonesia.

Aceh menyimpan banyak potensi industri perikanan bisa dikembangkan. Namun Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh sangat meyayangkan yang terjadi lebih 50 persen ikan hasil tangkapan dari Aceh kerap diekspor melalui Medan.

“Lebih 50 persen ketersediaan ikan yang diekspor ke luar negeri dari Medan itu pasokan dari Aceh,” kata Kepala Bappeda Aceh, Prof. Dr. Abubakar Karim Selasa (19/2/2013) di ruang kerjanya.

Secara tegas, Abubakar Karim menyatakan, ini merupakan potensi ekonomi yang sangat prospek untuk dikembangkan di Aceh. Apa lagi Aceh didukung oleh enam pelabuhan yang tersebar diseluruh Aceh, yaitu pelabuhan Kuala Langsa, Kreung Geukuh, Meulaboh, Kuala Batee, Krueng Raya dan pelabuhan Singkil.

Semua pelabuhan tersebut, katanya, akan bisa menyokong untuk kepentingan pelabuhan bebas Sabang nantinya. Karena dengan adanya sokongan enam palabuhan itu, Sabang yang menjadi pelabuhan bebas akan bisa mengekspor langsung hasil perikanan dari Aceh.

Selain itu juga, kata Abubakar, di Sabang juga bisa dibangun semacam industri perikanan, seperti pengalengan ikan, maupun jenis industri perikanannya.“Enam pelabuhan tersebut akan mendukung pelabuhan bebas Sabang guna melakukan transaksi ekspor-inpor,” katanya.

Menyangkut untuk mengembangkan pelabuhan Sabang, Abubakar Karim tidak menampik butuh banyak komponen terlibat didalamnya. Terutama menyangkut dengan pengembangan investasi perikanan yang masih terkendala pada regulasi untuk perizinan. Dukungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, Daerah maupun pelaku bisnis itu sendiri sangat dibutuhkan.

Menurut Abubakar Karim, selama ini banyak pengusaha berkeinginan mengembangkan sayap bisnisnya di Aceh. Terutama investasi dalam bidang perikanan yang notabena akan sangat menguntungkan bila investasinya berada langsung di Aceh.

Yang terjadi kemudian, katanya, lagi-lagi terbentur dengan regulasi, mestinya Gubernur Aceh saat ini memiliki ketegasan dan sikap yang berani. Karena memang Aceh memiliki kewenangan khusus menyangkut mengatur pemerintahan sendiri.

“Ada banyak pengusaha perikanan ingin investasi di Aceh, tapi terkendala dengan regulasi,” tambahnya.
Abubakar menambahkan, kelebihan bila investasi perikanan dikembangkan di Aceh, akan jauh lebih hemat biaya transportasi. Tidak seperti selama ini, Abubakar Karim sendiri sempat kaget saat mengetahuinya biaya transportasi darat jauh lebih mahal dibandingkan biaya ekspor ke luar negeri.

“Saya sempat kaget, biaya transportasi darat dari Banda Aceh – Medan itu Rp.2500/kg, sedangkan ongkos eskpor ke Eropa hanya Rp.1800/kg,” tambahnya.

Atas dasar itu pula, banyak diantara pengusaha bidang perikanan ingin berinvestasi di Aceh. Karena secara biaya operasional jauh lebih ekonomis.

“Selisih harga Rp.700 itu bagi pengusaha kan juga besar, karena sekali kirim itu ribuan ton, tentunya bila diakumulasi jumlahnya akan besar juga,” tukasnya kembali.

Menyikapi persoalan tersebut, Abubakar Karim meminta Pemerintah Aceh harus berani bersikap. Meskipun regulasi nasional belum ada, kata Abubakar Karim. Dengan adanya kekhususan Aceh dibawah payung hukum Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Mestinya, Gubernur Aceh bisa lebih berani mengeluarkan regulasi agar pengusaha perikanan bisa mengembangkan sayapnya di Aceh. Beranikah Zaini Abdullah?. [tgj]